Putus asa membuat Ling menjadi skeptis. Beberapa bulan tinggal di Singapura ternyata tidak serta merta menyelesaikan masalah. Kegelisahan dan ketakutan itu tidak langsung sirna. Tubuh bersimbah peluh dan tenggorokan yang tercekat masih menjadi rutinitasnya setiap harinya.
Satu persatu teman dan kerabatnya yang sama-sama mengungsi mulai kembali pulang ke Jakarta. Ling terjepit, tinggal atau pulang? Jika tinggal, dengan apa dia harus bertahan. Jika pulang untuk siapa? Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Rasa trauma yang mendalam masih sangat membekas di hatinya. Bayangan buruk itu tidak pernah lepas dari benaknya. Dia selalu merasa dirinya akan menjadi incaran orang-orang tidak bermoral. Dia masih tidak berani untuk pulang ke Jakarta.
Saat itulah dia bermaksud ke kios bakmi langganannya di stasion MRT. Kereta api bawah tanah yang menjadi alat transportasi jarak jauh di Singapura. Harga makanan itu hanya 2.5 dollar dan rasanya cukup enak.
Seperti hari kemarin Ling dilayani oleh A Pao dengan membungkuk-bungkuk dan tersenyum lebar. Rupanya A Pao selama ini telah mengamati setiap kehadiran Ling di kiosnya. Muka Ling yang terlihat kalut, sedih, dan selalu melamun menjadi perhatiannya.
“Miss, you okay?” tanya A Pao sambil meletakkan semangkuk bakmi diatas meja besi bulat yang tertanam ke lantai.
Ling tersentak dari lamunan dan memandang ke arahnya dengan tersenyum dan mengangguk. Diambilnya selembar uang dua dollar dan sekeping lima puluh sen, lalu diangsurkannya pada A Pao. Tetapi A Pao mendorong kembali tangannya.
“It’s Okay. Free,” katanya sambil masih tersenyum lebar.
Sebelum A Pao membalikan badan ingin pergi, Ling memegang tangannya, “No tanhk you. I have to pay. Thank you. This is your money.”
A Pao menggoyang-goyangkan tangannya berusaha menolak uang itu. Namun Ling tetap bersikeras, sehingga terjadi keduanya saling pandang. A Pao dengan senyumannya yang lebar itu membuat Ling pun mengalah.
“Thank you, Miss. God Bless you.”
Entah mengapa, sekonyong-konyong Ling merasa tersentuh hatinya oleh perhatian kecil yang diberikan pria itu. Dia pun tak kuasa menahan air matanya yang mengalir dari matanya yang telah memerah.
Kemudian di ceriterakanlah semua kisah hidup Ling dan kesulitannya yang saat ini dia hadapi. Keduanya saling berkomunikasi dengan bahasa yang sangat terbatas. Ling tidak begitu menguasai bahasa mandarin, begitu juga bahasa inggris A Pao.
“Aku ini sedang bingung sekarang,” kata Ling setelah mengakhiri kisahnya.
“Ya, sepertinya aku bisa merasakan,” A Pao mengangguk turut bersedih.
“Kamu tahu sendiri, aku disini adalah warga asing, tak bisa menetap selamanya disini,” Ling meneruskan pembicaraannya.
“Opsinya memang harus memperpanjang izin tinggal,” A Pao menanggapi.
“Tetapi prosesnya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit,” keluh Ling.
“Apakah kamu ingin tetap tinggal di negaraku?” tanya A Pao.
“Yaa … mau bagaimana lagi … aku masih trauma dengan kejadian waktu itu. Setiap saat, setiap detik, teringat hari nahas itu …,” masih keluh Ling.
“Kamu harus bisa memulihkan rasa itu, mungkin akan membutuhkan beberapa waktu,” Kata A Pao yang mulai memahami kondisi kejiwaan Ling.
“Lagi pula aku tidak ada keberanian untuk pulang ke Jakarta. Aku … aku … merasa menjadi incaran orang-orang yang bagai pemburu kejam,” lanjut Ling sedih.
“Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di rumahku,” A Pao merasa punya solusi.
“Tinggal di rumahmu?” Ling bimbang.
“Ya, di rumahku ada satu kamar kosong, tapi kecil dan tidak bagus,” A Pao menjelaskan.
“Apa kamu tidak keberatan aku tinggal di rumahmu?” Ling masih juga bimbang.