“Dooorrr ...!“ suara seseorang tiba-tiba di dekatnya, “Ee ... nunggu kios kok ngelamun, pasti ngelamunin Toni,” entah dari mana, tahu-tahu A Pao sudah nongol dihadapannya.
“Ah, kamu A Pao!! Ngagetin aku saja. Kirain orang mau mborong bakmi kita,” kata Ling setengah terkejut lalu tersenyum.
“Sedang ngelamunin Toni, kan?” ulang A Pao sambil celingukan, “Kamu sendirian saja? Ibu kemana?” lanjutnya.
“Ibu lagi keluar, paling ngrumpi sama Ibu kios sebelah,” jawab Ling santai tanpa menjelaskan apakah dia sedang melamun apa enggak.
A Pao sudah maklum sejak mendengar pengakuan Ling. Bahwa sebenarnya Ling sudah punya calon suami bernama Toni dan sudah mau menikah. Walaupun sejak tragedi kerusuhan Jakarta, mereka sudah saling tidak ada kabar beritanya.
“Aku berharap kamu masih bisa bertemu Toni,” kata A Pao meneruskan.
“Ya,” Ling mengangguk, meski nada ucapan A Pao seperti itu tidaklah penting.
“Sudah setahun apakah kamu sudah mendapat informasi tentang dia?” lanjutnya dengan nada bingung sekaligus mengingatkan.
“Ohya, sudah setahun? Rasanya juga seperti baru kemarin,” sahut Ling seperti baru tersadar.
“Baru kemarin?” A Pao tidak percaya.
“Ya, tapi jangan tanya kenapa, aku juga nggak tahu kenapa,” Ling mengangguk.
“Kalau hanya diam dilamunkan saja bagaimana bisa ketemu dia,” komentar A Pao.
“Kok kamu bicaranya kayak gitu, sih?” balik tanya Ling yang juga bingung.
“Ya iyalah. Kulihat kamu sama sekali tidak ada usaha untuk itu,” tegas A Pao
Mendengar nada ucapannya yang menurutnya terdengar sedikit meremehkan, Ling agak tersinggung, “Memangnya kenapa?” tanyanya balik.
“Karena akan membuat kamu selamanya berputus asa!” jawab A Pao.
“Ya itulah aku, hidupku memang hanya untuk berputus asa,” Ling menanggapi tidak acuh.
“Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang kudengar,” ucap A Pao mengelengkan kepala, “Sebaiknya kamu mulai berpikir yang kondusif, yang bisa membuatmu optimis melihat ke depan,” lanjutnya kali ini dengan nada lebih keras.
“Aduhhh … kenapa lagi sih?” tanya Ling yang tidak tahu maksud suaminya itu.
“Karena kamu kayak orang nggak ada semangat, nggak ada gairah sama sekali,” jawab A Pao.
“Kamu lelaki, kalau bosan di rumah bisa pergi sekehendak hati. Tapi aku kan wanita, tidak bisa berbuat seperti itu,” Ling mencoba menjelaskan atas sikap A Pao kali ini.
“Oke, tapi nggak bagus terus-menerus melamun,” balas A Pao tanpa memandangnya.
Sebenarnya Ling ingin menyanggah, bukannya dia melamunkan Toni. Akan tetapi lebih kepada sikap Ibu A Pao yang sangat jarang sekali mau berkomunikasi dengannya. Hal itu telah menimbulkan pemikiran tersendiri baginya.
“Terus terang aku belum berpikir ke hal yang lain. Biarlah aku menjalani hari-hariku seperti ini, belajar mengurus kios seperti ibumu,” ucap Ling jujur.
A Pao tahu isterinya adalah gadis yang cantik, pintar, dan berpendidikan. Tentu saja cita-citanya tidak sekedar berkutat di kios bakmi. Terlebih tidak sekedar menjadi isteri seorang tukang bakmi. Maka lalu A Pao memberi saran.
“Aku melihat kamu ada potensi untuk mendapatkan yang lebih dari pada hanya diam di kios,” sekali lagi A Pao berkata dengan serius menatap ke arah Ling. Tapi bukannya malu, Ling malah tersenyum lebar tidak berkomentar.
“Kalau aku jadi seperti kamu harus mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Karena hanya pekerjaan yang berkualitas akan menghilangkan kejenuhan,” A Pao mencoba menunjukkan pada Ling bahwa keputusan untuk tetap menjaga kios itu salah.
“Kalau begitu apa solusinya, dong?!” tanya Ling berpura-pura.
“Di Bandara Changi ada salah satu konter yang membuka lowongan pekerjaan,” jawab A Pao.
“Pekerjaan apa?” Ling terlihat bersemangat.
“Perusahaan Biro Jasa Tours & Travel, membutuhkan seorang Guide,” A Pao meberitahukan.
“Tetapi apakah kamu yakin dengan pekerjaan itu?” Ling masih ragu.