Adalah pengalaman yang berkesan ketika Ling memandu tuoris bule dari Amerika. Persoalannya Si-bule meminta supaya Ling menemani berkeliling dengan sepeda motor. Dari Shelter Pos Ling disewakan sepeda motor antik yang khusus untuk wisata.
Sementara Si-bule menunggu di depan MRT Bugis. Ling masih kagok juga membawa motornya. Agak was-was karena tidak terbiasa mengendarai motor antik seperti ini. Namun demikian dia percaya diri menuruti kemauan Si-bule satu itu.
“What a great Motorcycle you have, Ling,” sambut Si-Bule ketika Ling tiba ditempatnya. Si-Bule memuji motor Ling sangat bagus.
“Thank you, mister. I just finished modifying it,” jawab Ling mengatakan motor ini baru saja di modifikasi.
“You mean this is the old motorcycle, that you used to drive to works,” kata Si-bule lagi, maksudnya apakah itu sepeda motor lama yang biasa dipakai untuk bekerja.
“Yes, it is,” jawab Ling sekenanya padahal motor dapat dari rental.
“It looks a lot different. I will test ride,” Si-Bule memuji motornya sangat berbeda dan dia ingin sekali mencoba motor itu.
Setelah berkata demikian Si-Bule langsung meminta sepeda motornya. Dengan gaya seorang yang sudah profesional Si-bule menyuruh Ling duduk dibelakang. Dia kemudian yang menyetir motornya dan langsung saja tancap gas.
Sebelumnya Ling mengganggap Si-bule sudah tahu berkendara di Singapura. Akan tetapi ternyata motor dibawanya ke lorong, sontak orang-orang berteriak panik. Termasuk Ling yang terkejut alang kepalang.
Karena Si-Bule mengendarai motor melawan arus pejalan kaki yang membuat orang-orang kalang kabut. Mereka berhamburan berusaha menghindari sambil memaki Si-bule habis-habisan. Si-bule pun baru menyadarai cara berkedaranya yang salah.
Beruntung tidak sampai terjadi insiden yang tidak di inginkan. Akhirnya Ling yang membawa motornya dan Si-bule yang duduk di belakang. Ling membawanya berkeliling, berputar-putar, hingga kemudian berhenti di Haji Lane kampung Glam Singapura.
Berjalan-jalan sambil berbincang di sepanjang ruko jalur ini. Mengunjungi toko dan kafe independen, seperti Pizza Febbrica, Good Luck Beerhouse, dan Monocle. Ternyata bule satu ini punya sense of humor yang tinggi.
Ling dibilang kayak boneka Berbie yang cantik dan Imut, seperti yang dipajang di Toys Shop. Ling pun menjawab, Lho emangnya aku ini kayak Unyu-Unyu, begitu? Dan kebersamaan itu terus berlanjut karena sama-sama merasaLaugh Out Lou, lucu.
George, nama si-bule itu adalah salah satu peserta Tours Hongkong dari group perusahaan Good Life waktu itu. Dia sangat terkesan pada Ling yang berbeda dengan gadis-gadis pada umumnya. Lebih ramah, lebih luwes, dan lebih bisa melayani.
Karena sifat beda-nya itu George sering gemas dan penasaran. “Tentu saja beda, aku adalah gadis Indonesia yang dikenal santun dan luwes,” kata Ling ke dalam hati. George pun kemudian menjadi teman barunya, komunikasi aktif sampai janjian buat ketemuan.
Dari situ Ling tahu George adalah seorang Analis Keuangan dari Kantor Pusat Good Life di Ohio, USA. Dia berada di Singapura dalam rangka riset pengembangan produck. Guna mengantisipasi produk sejenis dari Unilever Asia Pasifik yang Booming saat ini di Singapura.
Terhadap Ling yang sudah dianggapnya sebagai teman yang mengesankan. Entah serius atau tidak George menawari Ling untuk bergabung di Perusahaannya. Tapi Ling hanya tersenyum sambil menolak dengan halus.
“Kamu akan mendapatkan karier yang cemerlang di Amerika,” kata George seperti meyakinkan, karena melihat Ling tidak merespon.
Ling hanya punya sedikit waktu untuk berpikir. Karena izin tinggal George di Singapura sudah berakhir, dia akan segera kembali ke Amerika. Apakah dia akan melewatkan kesempatan menjadi wanita karier yang pernah di-impikannya itu?
“Mungkinkah itu George?” ucap Ling sambil menerawang.
Tangan George meraih tangan Ling dan menggenggamnya dengan erat. Memberikan keyakinan yang masuk ke dalam hatinya. Dia percaya pada Goerge yang dikenalnya sejak beberapa waktu yang lalu. Sekarang pria itu memberi kesempatan untuknya.
“Mungkin ini dapat membuatmu yakin,” kata George sambil memberikan sebentuk Identification Card ketika George memperlihatkannya.
“George … ini untuk apa?”
“Itu kartu identitas, tanda kamu sudah menjadi bagian dari Perusahaan.”
“Apakah itu artinya aku bisa diterima bekerja di perusahaanmu?”
“Ya, kamu tinggal pasang fotomu disitu.”
“Tapi … George ….”