Malam semakin larut ketika Ling diantar mobil pulang dari kantornya. Malam menjadi sepi karena toko-toko dan rumah-rumah disepanjang perjalanan pulang sudah banyak yang tutup. Orang-orang yang beraktivitas di jalanan juga sudah jauh berkurang.
Ada beberapa group consumer tours yang memesan perjalanan ke Jepang, China, dan Thailand. Seperti biasa dia harus bolak balik ke Ibukota Singapura. Karena Itinerary-nya harus diajukan dulu ke pusat. Tidak cukup hanya dengan telefon, tetapi sekaligus untuk konsolidasi.
Sebagai sekretaris yang meng-estimasi semua proposal harus sepengetahuan Manager. Maka sore tadi selepas dari Singapura, di kantor banyak berdiskusi sama manager hingga malam. Akibatnya hari ini dia pulang agak terlambat.
George kemarin menelefon rapat di kantornya masih berlangsung. Tapi dapat dipastikan sudah ada keputusan bahwa Riset di Indonesia segera dilaksanakan. Ling dijanjikan akan menjadi bagian dari kegiatannya itu di Indonesia.
Ling menghela nafas panjang sementara mobil berjalan dengan santai. Dia sengaja ingin sekali menikmati kebeningan malam ini. Setelah menyadari bahwa dirinya harus bersiap meninggalkan Singapura. Dia harus mulai menyelesaikan urusan kantor maupun urusan pribadinya.
Baru saja dia menarik nafas lega, handphonenya sudah berdering lagi. Ling langsung duduk tegak setelah dibaca di layar Hp-nya George yang menelefon. Untuk saat ini telefon dari George menjadi sangat penting karena menyangkut masa depannya.
“Ya, halo ...?”
“Ling, lagi apa?”
“Lagi Otw pulang, dari kantor sedang menuju rumah.”
“Ohhya, disini malam hari, ya?”
“Hampir setiap hari aku pulang kantor hingga malam hari.”
“Wah, super sibuk kayaknya.”
“Ya, begitulah. Lalu apa prospek dari kantor kamu?”
“Itulah yang akan aku sampaikan padamu.”
“Sudah ada keputusan-kah?”
“Tinggal satu langkah lagi di tingkat Summit Meeting, tapi kurasa itu hanya formalitas. Pastinya kamu sudah harus bersiap dari sekarang.”
“Mudah-mudahan aku siap, George. Karena ini sebuah kesempatan bagiku.”
“Kamu sudah kuajukan sebagai asistenku untuk di Indonesia.”
“Sudah di pertimbangkan?”
“Ini Policy dariku, tidak ada masalah.”
Ling kembali menarik nafasnya, kembali dihadapkan pada masalah pribadinya sendiri. Meskipun dia merasa sudah siap, tetapi hatinya ternyata masih saja labil. Dia masih belum bisa melepaskan A Pao dari pikirannya.
“George, kira-kira berapa lama aku harus menyiapkan diri?” Ling mencoba menanyakan.
“Bulan depan aku sudah harus berada di Jakarta,” George memastikan.
“Bulan depan, George?” Ling sedikit terkejut, artinya dia tidak punya banyak waktu lagi. Dia harus bisa menyelesaikan semua urusannya di Singapura, “Bagaimana kalau ternyata aku belum siap?” tanyanya lagi.
“Kurasa masih ada cukup waktu, aku percaya kamu pasti bisa mempersiapkan dirimu,” George memberi semangat.
“Aku berharap seperti itu, mudah-mudahan aku bisa,” Ling tidak berani menjanjikan.
“Resign dari sebuah perusahaan, Go to perusahaan lain, adalah hal yang biasa. Kamu tidak usah ragu,” George kembali memberi semangat.
“Ya, mudah-mudahan,” balas Ling mengiyakan.