Malam terasa semakin mencekam dan kian menjadi hambar. Tak ada satu bintang pun yang rela memancarkan sinarnya ke dalam kamar. Ling terjaga dari tidurnya dan tak bisa memejamkan lagi matanya. Pikiran dan angannya terus berkecamuk di dalam benaknya.
Ling memiringkan tubuhnya dan menengok A Pao yang terlelap di bawah ranjang. A Pao yang begitu baik, begitu polos, sehingga dia mau mengawini seorang wanita tanpa pernah menyentuhnya sedikit pun. Terlihat dia begitu pasrah, meski kegelisahannya tampak nyata.
A Pao sudah menyadari saat-saat Ling akan segera meninggalkannya. Tiap-tiap waktu yang di jalani bersama Ling semakin terasa sangat berarti. Rasa itu tumbuh justeru di hari-hari terakhir kebersamaan mereka. Ling akan kembali ke negeri asalnya.
Dari atas tempat tidurnya Ling masih merenungi dirinya sendiri. Hatinya juga gelisah menunggu pagi yang akan menjelang. Esok pagi adalah saat-saat yang menentukan atas keputusannya. Karena lusa adalah akhir pekan saat dimana George akan terbang ke Jakarta.
Kemarin George mengatakan sudah mengurus dokumen Ling untuk pergi bersama ke Jakarta. Tapi Ling belum memberikan jawaban, Ling juga belum Resign dari kantornya. Hal Itulah yang membuat George kecewa sekali.
Akhirnya George hanya mengatakan bahwa dia akan menunggu Ling di Bandara Changi. George tidak bisa memaksakan Ling harus ikut. Sekarang semuanya itu akan tergantung pada diri Ling sendiri. Apakah dia akan pergi bersama George atau tidak.
Dengan perlahan Ling bangkit dari tempat tidur dan menuju ke ruang depan. Dia termenung lagi dalam ruangan tiga kali dua yang berfungsi sebagai ruang tamu. Selembar kertas dan ball point sudah di siapkan guna membuat surat pengunduran diri dari kerjanya.
“Srriiiitt …,” terdengar dari ruang tengah suara derit pintu kamar terbuka.
Ling menolehkan kepala ke arah pintu yang menghubungkan dari ruang tengah ke ruang tamu. Ibu A Pao tampak keluar berjalan menghampiri Ling lalu berdiri di depannya. Dia memandang Ling tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
“Ibu tidak tidur?” sapa Ling terheran, tidak biasanya Ibu A Pao mendekati dirinya.
“Kamu juga kenapa tidak tidur?” balik tanya Ibu A Pao.
“Semalaman aku tidak bisa tidur, jadi aku sengaja duduk disini,” jawab Ling.
“Aku mau bicara,” ujarnya sambil menarik kursi ke samping Ling.
“Silahkan Bu,” balas Ling masih diantara keheranannya.
“Kapan kamu akan meninggalkan A Pao?” tanyanya dengan sorot mata yang dingin dan tajam.
Ling tampak terhenyak, mulutnya sedikit terbuka. Dia tidak bisa menutupi rasa terkejutnya. Ibu A Pao ternyata mendengar juga rencana kepergiannya. Sebenarnya dia akan memberitahukannya juga setelah nanti membuat keputusan.
“Aku baru akan memutuskan malam ini.”
“Aku tahu kamu berhubungan dengan pria asing itu. Billy telah menceriterakan semuanya itu padaku,”
“Jadi, bagaimana menurut Ibu?”
“Apa kamu akan tinggal kalau aku melarang?”
“Maksud Ibu?”
“Aku tahu kamu pasti akan pergi, kamu pasti akan membuat anakku menderita. Sejak pertama aku tidak setuju A Pao mengajakmu kesini. Bukan karena aku tidak mau menolongmu, tetapi aku tahu A Pao sudah jatuh cinta padamu. Sebenarnya aku juga tahu kalau dia hanya akan kamu campakkan. Kamu wanita yang kotor dan menjijikan ….”