Asa yang Tersisa

Awang Nurhakim
Chapter #11

Bergegas ke Bandara.

Bangun tidur pagi ini hati Ling merasa sangat bebas. Sepertinya sudah tidak ada beban lagi yang harus diselesaikan. Di dalam apatemen ini tidak ada siapa-siapa, dia hanya sendirian di dalam kamar. Hari ini dia hanya akan mengemasi baju dan barang-barang dan kemudian sorenya ke Bandara.

Ling menyiapkan koper traveling-nya yang biasa dibawa saat bertugas sebagai Tours Leader. Dia mulai memilih baju-baju dan barang-barang yang akan dibawanya. Meskipun sudah berulang kali traveling, tetapi packing tetap menjadi hal yang bikin stress.

Bisa saja dia menggunakan cara klasik untuk packing baju dan barang seperti yang dilakukan selama ini. Tetapi bagaimanapun juga cara tersebut kurang efektif. Dia pun mulai mencari celah agar baju dan barang yang akan dibawa muat lebih banyak.

Setelah koper terisi dengan penuh, Ling juga mulai beres-beres rumah. Mencuci piring bekas makan tadi malam. Menyapu lantai, merapikan gorden jendela, pintu, dan perabotan rumah. Dia ingin meninggalkan rumah apartemen ini dengan kesan yang baik.

Namun demikian masih ada yang mengganjal dalam pikirannya. Dia belum tahu apa jawaban dari kantor atas pengunduran dirinya. Mungkin saja dia tidak perlu menunggu jawaban itu. Toh, dia sudah akan pergi meninggalkan Singapura.

Tetapi terhadap A Pao? Dia harus menyampaikan berita penting dari Caroline padanya. Untuk bertemu dengannya rasanya sudah tidak mungkin lagi. Mau telefon, A Pao juga tidak biasa membawa handphone. Satu-satunya alat komunikasi hanyalah melalui selembar surat.

Maka Ling segera menulis surat sekaligus untuk membalas surat A Pao yang kemarin :

“A Pao, aku sudah membaca suratmu di tempat lilin. Untuk kesekian kali aku harus berterima kasih padamu. Kamu sangat baik padaku dan sekarang kembali menolongku. Selain daripada itu aku ingin menyampaikan hal penting padamu. Yaitu soal Caroline. Aku sudah bicara panjang lebar dengannya. Kesimpulannya Caroline sudah siap menjadi isterimu jika kamu melamarnya. Untuk itu persiapkan dirimu dan datanglah ke rumahnya. Suatu saat aku ingin mendengar kamu berdua berbahagia dengan anak-anakmu. Sekian dan sekali lagi terima kasih. Ling.”

Ling membaca sekali lagi surat yang ditulisnya itu. Kemudian melipatnya dan menaruh surat itu ke tempat lilin. Dia menghela nafas lega merasa beban pikirannya sudah tuntas. Sekarang dia bermaksud hendak tidur beristirahat sambil menunggu waktu sore.

Ohya, dia harus memberitahukan pada George agar dia tenang. Bahwa dia sudah siap dan akan pergi bersama-sama ke Jakarta sore nanti. Maka dia ingin sekali menelefon George saat ini juga. Namun sebelum dia melakukan, ponselnya sudah lebih dulu berdering.

Caroline yang menelefon, langsung berbicara agar Ling cepat menemuinya di rumah Billy. Ling menatap aneh Hp-nya, mengapa Carol bisa berada di rumah Billy? Apa urgensi-nya dia harus pergi kesana? Dia tidak punya urusan apa-apa dengan Billy.

“Carol, kenapa kamu berada di rumah Billy?” tanya Ling tidak mengerti.

“Ya, aku … aku ada di rumah Billy,” jawab Caroline seperti bingung menjawab.

“Untuk apa aku harus kesini?” Ling mencoba menganalisa.

“Kamu harus menjemputku sekarang juga … Tolong aku Nona Ling …,” suara Caroline terdengar tersendat-sendat.

“Kenapa harus aku?” Ling memastikan.

Caroline tidak segera menjawab, suara dari dalam handphonenya kosong. Sepertinya dia tidak sendirian, sekilas ada suara orang lain di sekitarnya. Ling pun mengulangi pertanyaannya lagi. Tiba-tiba terdengar suara laki-laki mengambil alih handphone Caroline.

“Benar Ling, kamu harus datang kesini sekarang,” kata Billy, suara laki-laki itu.

“Aku harus ke rumahmu?” Ling masih bertanya.

“Iyaa, ke rumahku,” jawab Billy mantap.

“Kalau kamu mau mengundang aku ke rumahmu, kenapa tidak langsung telefon aku? Kenapa harus Carol yang menelefonku?” Ling tidak habis pikir.

“Itulah caraku … Apa kamu mau datang kalau aku yang menelefon?” suara Billy dengan tenang.

“Kalau kamu punya niat baik, tentunya bukan seperti ini caranya.”

“Kurasa kita tidak perlu berdebat, sekarang kutunggu kedatanganmu di rumahku … Caroline akan menjadi sandera sampai kamu datang.”

Lihat selengkapnya