Terlepas antara benar dan tidaknya ucapan Samud dikedai tadi, dalam kenyataanya kini dia memang mengemban misi sendirian. Semua saudaranya Siang itu langit sudah mendung, udara sangat dingin disertai gemuruhnya angin yang menderu-deru meniup pepohohonan hingga menerbangkan ranting dan daunya yang sudah kering.
Diatas Cakrawala Langit sudah menghitam bergulung-gulung bagai kota hantu dalam cerita dongeng. Apalagi disebelah utara, terlihat awan brrapi-api.
--'Pantas saja sebelum berangkat kiGuru kelihatan sangat resah dan muram, mungkin karena dia tahu kalau musuh yang akan dihadapi sangat berbahaya! Hm... tapi belum tentu apa yang dibicarakan oleh orang-orang itu benar...'__
Setelah menempuh perjalaan yang lama, dan bertanya kepada orang-orang yang berhasil ditemui akhirnya kiWidurapun sampai ketempat yang dituju.
Sebuah tumpukan batu bata merah berbentuk gugunungan menyambutnya, menandakan bahwa dia telah berada diperbatasan kadipaten Cametigaling.
Udara mulai dingin, awan hitam kembali berputar menyelimuti bukit dimana ia sedang berdiri. Nampak, dipinggir tugu ada sebuah batu prasasti yang dibuat sederhana sekali. Bertujuan untuk menunjukan nama dan tempat daerah itu.
"Kadipaten Cametigaling, tertanda Adipatisura.." Begitulah kira-kira yang tercatat diatas batu bulat tersebut.
Setelah kenyang melihat-lihat, lalu ia pun mulai memasukinya. Ada segulung hawa menyeramkan langsung terasa begitu dia melewati tumpukan batu bata tersebut. Suatu aura yang pekat yang ditimbulkan oleh Rajapati. Makin lama ia berjalan makin kedalam, namun setelah sekian lama berjalan, kiWidura tidak menemukan satu orang petani pun. Hingga pada suatu tempat mendadak hatinya bergidik, ketika ditengah jalan terlihat setumpukan mayat sedang dirubung burung buk-bul atau burung pemakan bangkai.
__'Pantas saja aku merasakan hawa pekat yang sangat mengerikan. Rupanya disini ada belasan mayat. Mungkinkah belasan mayat ini penduduk Cametigaling?...'__ Kembali ia bergumam sambil memperhatikan tubuh-tubuh yang membusuk dimakan burung bul-bul.
Karena penasaran ia pun mendekati. Dan dengan sekali kibas, gelombang tenaga dalam langsung berhembus.. mengusir belasan burung pemakan bangkai tersebut.
Nampak belasan mayat itu, berasal dari suatu keprajuritan terlihat dari tameng dan tumbak yang berada tidak jauh disekitarnya.
Hanya sekejap ia melihat belasan mayat itu, karena sebentar kemudian burung-burung itu kembali mengerubunginya.
__'Hm, kelihatanya sudah hampir seminggu mayat-mayat ini dibiarkan berserakan dijalanan. Hmm.. ada yang aneh. Mungkinkah pelakunya siInjukkawung seperti yang selama ini orang gembar-gemborkan?'__
Meskipun keheranan, Pemuda Widura tidak berani memeriksa lebih dekat, karena ia tahu didalam kulit daging yang busuk terdapat sauatu wabah yang sangat mengerikan.
Maka dari itu ia pun kembali berjalan, memasuki jalan pedati yang menuju pusat ke kadipaten.
Setelah melewati beberapa kebun dan beberapa ladang akhirnya diapun sampai kegerbang kadipaten. Kembali hati dia terenyuh, saat melihat tumpukan mayat disekitar lawang kori.