"Sendika gusti, maafkan hamba. Namun sunggguh sangat disayangkan, keempat saudara hamba mendapat tugas yang tidak kalah pentingnya. Jadi dengan berat hati, terpaksa kiGurupun hanya mengutus hamba seorang diri untuk menghadap gusti Adipati. Semoga gusti Adipati memakluminya..."
"Hmm.. aku dapat memaklumi, hai pemuda Widura. Namun bukanya aku ingin merendahkanmu, tapi seperti yang kau ketahui, musuh sekali ini selain licik dan picik, namun juga berkepandaianya sangat tinggi. Aku khawatir kau takan kuat seperti para pendekar yang lainya..."
"Mati dalam suatu pertempuran bagi seorang pendekar adalah suatu kehormatan. Saya sudah siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi..."
"Baiklah kalau begitu. Ada pepatah mengatakan Harimau takan melahirkan anak kucing. Nah, untuk sementara waktu kau duduklah bersama yang lainya disana. Karena saat ini kami semua sedang mengadakan pembicaraan tentang masa depan kadipaten ini..."
"Baik, gusti. Terimakasih..."
"Namun sebelumnya, perkenalkanlah terlebih dahulu orang-orang yang berada disampingku ini...."
"Sendika gusti..."
"Ini, disamping kananku adalah nyai Mayang Istriku..." berkata sampai disitu, sang Adipati sambil menunjuk perempuan yang berada disamping kananya itu.
"Salam sejahtera, dan terimalah hormat serta pengbakti dari saya..."
"Sembah pangabaktimu, saya terima Widura...." sahut perempuan itu sambil tersenyum tipis. Sepintas terlihat ruam matanya kuyu, menandakan bahwa ia banyak menangis.
"Dan yang duduk disamping kiriku, dialah kiPatih Darbaseta..."
"Salam hormat dari saya Gusti Patih..."
"Kau tak usah terlalu memperdulikan adat dan tatakrama Istana, Widura. Disini bukan diistana tapi didalam goa..." sahut kiPatih, sambil menerima pedang yang disolorkan oleh Adipatisura untuk kemudian diperiksa kembali dengan seksama.
"Pedang ini pedang yang bagus dan khas milik perguruan Pancatungal..."
"Benar gusti! Bahkan setiap murid yang sudah mendapat gelar, namanya akan terus diukir diatas badan pedang itu sendiri..."
"Hm..." terlihat aki Patih Darbaseta manggut-manggut, "Ini, terimalah pedangmu kembali. Kurasa kau akan sangat memerlukanya..."