Ashen side of Sumatra

Bintang Harly Putra
Chapter #3

BAB 1 : NUSAWARTA

Seandainya ibuku tidak terlalu baik, mungkin saja aku bisa lebih sadar diri dan tidak jadi beban untuknya. Kalau saja bapakku tidak buru-buru pergi (mungkin lebih tepatnya berpulang), aku jadi punya figur untuk menimba arti sebuah kerja keras dalam hidup. 

Beserta sejuta penyesalan lainnya yang muncul dalam kepalaku selama dua tahun lebih, aku menganggur. Entah apa gunanya gelar sarjana S1 jurnalistik yang aku raih dua tahun lalu. Pada nyatanya tidak lebih menarik dari pemancingan berjarak dua warung dari rumahku. Tempat biasa aku melumat waktu sore bersama teman-temanku (agak aneh menganggap mereka teman, perihal umur yang berjarak hampir sepuluh tahun denganku).

Atau hal lain yang tak kalah menarik seperti berkendara sembari melirik kehijauan bukit, hingga aku tak sadar dua hingga tiga kecamatan sudah aku lewati. Itu ke itu saja kerjaan seorang Januar Hatta, setiap hari, menahun.

Entah apa gunanya, "Kapan kamu kerja? Berkeluarga?" kurang lebih ucapan dari kebanyakan tetangga yang kubalas dengan senyum agak terpaksa.

Untungnya, hal itu lekas-lekas mulai hilang ketika hari ini aku dihubungi oleh pihak dari Nusawarta, katanya aku diterima untuk bekerja di sana sebagai seorang wartawan. Aku merasa senang sekali tentunya, hari ini aku sudah bukan lagi pengangguran, dan setidaknya aku bisa mulai mencicipi rasanya menjadi orang dewasa sungguhan. Kukatakan pada ibu mengenai berita baik ini, dan seperti orang tua kebanyakan, matanya segera berbinar dan kemudian ia memelukku erat-erat. Ada dua kemungkinan makna dari tindakan ibu barusan, antara dia memang bangga padaku, atau dia lega karena anak satu-satunya ini sudah tidak akan jadi beban pikulannya lagi.

Tak lama berselang, sebuah kotak merah marun sudah tergelatak diatas meja makan, bersebelahan dengan tudung saji berwarna hijau. Jujur aroma masakan ibu dari balik tudung saji itu terasa semerbak. Tapi aku lebih penasaran dengan kotak marun yang membuat hari ibu sangat bercahaya pagi ini. Tergeletak di atak kotak itu sebuah memo kecil bertuliskan :

Selamat, Anda Kami Terima!

Redaksi Nusawarta

"REDAKSI NUSAWARTA?! BU, NUSAWARTA BU!!" Aku benar-benar melompat dari rasa kantuk saat membaca tulisan bahwa aku diterima di sebuah redaksi termashyur tahun ini. Aku masih ingat saat salah satu Jurnalisnya, kalau tidak salah namanya Lusi Utami, mendapat penghargaan dari Kementerian Komunikasi karena mengangkat sebuah kasus pembunuhan seorang pejabat korup paling populer yang kabur ke Dusun Melati. Tentu saja, kasus ini membawa nama redaksi ini jadi mentereng.

Lihat selengkapnya