Ashen side of Sumatra

Bintang Harly Putra
Chapter #4

BAB 2 : LIPUTAN ABAL-ABAL

Sudah dua hari aku kebingungan mencari berita, tak dapat-dapat, serasa tak ada hal menarik yang muncul di depan bola mataku. Mohon dimaklumi saja, sudah dua tahun aku menganggur, tentu pelajaran dan kata-kata semasa kuliah kebanyakan sudah buyar sebuyar-buyarnya. Tenggat waktu tiga minggu yang ditekan oleh Ibu Lita semakin ikut menekanku untuk segera mencari berita kriminal paling menarik dari berbagai sisi di negeri ini.

Kuniatkan untuk berangkat sendiri, berlandaskan sekelebat kabar burung yang kuketahui dari tukang ojek yang kemarin kutumpangi. Kabarnya ada bandar narkoba yang tiba-tiba muncul di Puri Asih. Perkiraan waktu menjelang magrib aku berangkat menuju daerah yang kurang lebih berjarak satu jam dari kantorku. Hampir saja aku lupa membawa handycam (tentunya juga sudah disediakan kantor) barangkali untuk memotret beberapa momen yang dapat memperkuat liputanku. Sialnya aku lupa membawa rompi kerjaku yang nantinya akan membuatku sedikit menyesal (Akan lebih menarik saat anda mengetahui alasannya nanti, pembaca yang cemerlang).

Usai bertanya berkali-kali pada tukang parkir, penjual gorengan dan tukang martabak di sekitar tempat itu. Kudapati tempat berupa rumah tua yang sudah lama tidak ditempati. Berada di ujung jalan yang sepertinya hampir tidak pernah dirawat oleh siapapun. Terlihat dari debu di sisi-sisi jalan yang menumpuk tebal, dan beberapa tumpukan sampah yang seperti basah dan mengering berkali-kali. Sedikit curiga karena seperti tidak ada tanda keberadaan sesiapapun di sini.

"Kayaknya bukan ini tempatnya," gumamku

Tak lama usai gumamku barusan seorang pemuda kurus mengendap-ngendap masuk ke dalam gelapnya pintu belakang rumah tua itu. Aku mengikutinya dengan sedikit berjarak agar tak terhirau olehnya. Saat jarak pandangku sudah cukup, aku dapat melihat sekitar 4 atau 5 orang sedang berkumpul di dalam rumah itu, bercengkerama singkat seperti akan bertransaksi tentang sesuatu. Tiga hingga lima foto kuabadikan sampai kurasa cukup untuk liputanku.

Sialnya, saat akan segera pergi dari tempat mengerikan itu, kejadian yang menyebalkan terjadi.

"JANGAN BERGERAK, kalian semua sudah dikepung!" seorang pria paruh baya yang tadi sempat aku ajak bicara, tepat berteriak di depan mataku, sembari menodong pistol.

Ternyata tukang parkir itu, tukang gorengan dan beberapa pedagang lain yang mangkal di sekitar tempat itu, adalah sekumpulan polisi yang memang sedang memantau tempat itu.

Aku dan lima orang lainnya yang memang ada dalam rumah itu langsung dibekuk dan dibawa dengan sebuah mobil bak yang dimodifikasi agar bisa mengangkut orang.

"Saya Jurnalis pak, bukan pemakai, apalagi pengedar, tolong lepasin saya pak!" Teriakan beberapa kali yang kuucapkan.

Namun rasanya tidak dipedulikan oleh polisi-polisi itu, tak bisa kusalahkan juga, karena memang buah dari keteledoranku tak membawa rompi atau ID Nusawarta.

"Ya ampun, baru juga kasus pertama, udah dapat cobaan begini," keluh yang mengawang dalam pikiranku sembari polisi membawaku ke perjalanan yang panjang malam itu.

Semalaman aku tidur di lantai jeruji itu, bersamaan dengan sekumpulan pemuda yang sepertinya tengah sakaw. Hingga pagi datang, baru kudengar suara yang rasanya cukup familiar. Benar saja, bosku, Bu Lita datang meracau dan ngomel-ngomel memecah sunyinya kantor polisi pagi ini. Sepertinya polisi juga kaget dengan kehadirannya dan buru-buru mengeluarkanku dan memasangkan badanku ke hadapan Bu Lita.

"JANUAR!!, kamu itu ngapain si?!, nyabu kamu?! kamu baru tiga hari lo kerja sama saya, udah aneh-aneh kamu," kurasa omelannya ini akan terdengar sampai ke rumah ke tiga di segala penjuru.

Kujelaskan panjang lebar tentang kesalahpahaman yang terjadi semalam. Segera Bu Lita membantuku untuk keluar dari tempat ini. Jujur di balik sifat galak dan menjengkelkan itu, bisa dibilang dia memiliki sikap keibuan yang sangat menonjol, jadi kurasa wajar saja jika ia bisa sampai pada posisi sekarang.

***

Sekitar dua hari usai kesialanku malam ini, sudah mulai malas juga untuk tetap memaksa hati untuk memuat liputan asal-asalan yang aku buat malam itu. Namun, tenggat waktu dari Bu Lita sudah makin dekat, bersamaan dengan itu juga muncul nalarku untuk menemui teman lamaku saat di kampus dulu, Wikan. Dia sekarang sudah lama menetap di Surabaya dan kurasa akan menarik jika mencoba mencari liputan di sana.

Lihat selengkapnya