ASLOVEGOESBY

Arisyifa Siregar
Chapter #3

3. Sang Mantan

Jam menunjukkan pukul lima pagi, Raina duduk sambil bertopang dagu di meja belajar di dalam kamarnya. Tiga hari berlalu sejak ia ditugaskan Wakasek untuk membimbing Yiran, tapi sampai sekarang dia masih belum berhasil mendekati cowok itu. Padahal kemarin saat berpapasan dengan Wakasek ia sudah ditanyakan tentang progress yang nyatanya sama sekali belum dimulai ini. Sempat terpikir langsung meminta bantuan Wakasek untuk mempertemukannya lagi dengan Yiran, tapi buru-buru ia urungkan karena tak ingin terlihat tidak mampu sejak awal.

Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan membenamkan wajahnya sambil merengek. Sempat berharap banyak dengan Tami karena kedekatannya dengan Bagus, tapi ternyata bukan cuma ke cewek, ke cowok teman sekelasnya pun Yiran tak banyak bicara. Katanya dia hanya fokus belajar dan tak menjawab kalau ditanya selain oleh guru. Bagus pun tak bisa mendapat informasi apapun dan sampai saat ini masih berusaha untuk mendapatkan nomor ponselnya.

Raina mengangkat kepalanya, kembali duduk tegak sambil menggaruk-garuk leher. Sebenarnya sejak kemarin ada satu ide terlintas di benaknya. Tapi semakin ia memikirkannya, semakin ia enggan melakukannya. “Arrrghhh!” mengerang frustasi.

Keadaan ini benar-benar membuatnya stress sampai tidak fokus belajar selama tiga hari terakhir. Makin ia berusaha mendekat, makin Yiran menjauh. Makin Yiran menjauh, makin ia lebih menyukai sikap cowok dingin itu. Makin dia suka, makin dia ingin mendekatinya. Lingkaran setan ini membumbung keputusasaan dalam dirinya.

Memilih nekat, Raina mengambil ponselnya, mencari nama Kavi di daftar kontaknya. Sejenak ia terdiam, bagaimana bisa ia lupa kalau nomor Kavi sudah dihapus dari ponselnya setahun lalu. Meski begitu beberapa detik kemudian ia mulai tak tahu harus mengumpat atau bersyukur pada kemampuan mengingatnya, nomor telepon Kavi masih ia tertanam jelas dalam memori otaknya. Selagi adrenalinnya masih tinggi, Raina buru-buru menyimpan nomor itu kembali ke dalam kontaknya.

Kavi Junanda tak lain adalah mantan pacarnya. Mereka memulai hubungan saat di semester dua kelas sepuluh dan putus di semester dua kelas sebelas. Selama setahun inia dia menjadi orang yang paling Raina hindari di sekolah. Mereka putus dengan cara yang kurang baik, menyisakan masalah menyusahkan yang bahkan tetap ada sampai hari ini.

Mengesampingkan gengsi tingginya, Raina berpikir kali ini Kavi satu-satunya harapan yang ada. Dia adalah ketua kelas XII IPA 2, ketua kelasnya Yiran. Raina yakin, sebagai perwakilan kelas Kavi pasti punya nomor telepon Yiran.

Kedua kakinya bergerak naik turun di bawah meja. Ia mulai merangkai kata-kata permulaan yang tepat untuk menghubungi Kavi. Berkali-kali mengetik dan menghapus, ia akhirnya mengirim pesan tanpa basa basi, “Kav, ini gue Raina, sorry banget gue chat lu tapi gue bener-bener butuh bantuan lu.” Ditekannya tombol kirim sambil memejamkan mata. Dilemparnya ponselnya ke atas meja, ia kembali merengek sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Merasa malu sekaligus jijik dengan dirinya sendiri yang bertindak tidak tahu malu seperti ini.

Tak menyangka langsung di respon, saat mendengar suara notifikasi Raina langsung meraih ponselnya dan menatap notifikasi yang muncul di layar. Memandang pesan masuk dari Kavi ia merasakan manis getir. Sekelebat muncul kilas balik, masa-masa saat mereka saling mengirimkan chat tanpa kenal waktu setiap harinya, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Masa-masa yang harusnya terkenang manis namun malah getir saat mengingat yang terjadi akhir hubungannya.

‘Apa’? Balas Kavi singkat.

Tanpa berpikir lama dan karena sudah terlanjur basah mempermalukan dirinya, Raina langsung membalas ‘Lu punya nomor Yiran? Please gue minta. Ada perlu.’

Memang menunggu balasan Raina, Kavi yang masih online pun langsung membalas. Sayangnya bukannya balasan nomor telepon Yiran seperti yang Raina harapkan, dia malah mengirim sebuah tanda tanya ‘?’

Raina menghela nafas, meski sudah setahun putus Raina ingat betul bagaimana sifat Kavi. Ia pasti tak mau langsung memberikan nomor telepon Yiran kalau Raina belum memberikan penjelasan tentang tujuannya. Adrenalinnya langsung surut, Raina yang tak mau berlama-lama berkirim chat dengan Kavi memilih keluar dari ruang obrolan dan meletakkan lagi ponselnya di atas meja.

Ketimbang menjelaskan tentang Yiran ke Kavi padahal belum tentu Kavi juga punya nomornya dan mau memberikan padanya, Raina memilih untuk bergegas siap-siap berangkat ke sekolah. Ia  membulatkan tekad, hari ini apapun yang terjadi dia akan menyambangi Yiran. Dia akan berangkat awal agar bisa mencegat Yiran.

***

Yiran turun dari mobilnya yang berhenti cukup jauh dari gerbang sekolah. Seperti hari lainnya hari ini dia juga datang dengan menggunakan hoodie yang menutupi kepala dan separuh bagian wajahnya. Tapi hari ini dia berjalan dengan menundukkan wajah lebih rendah dari biasanya. Tak mau ada orang yang menaruh perhatian ke tulang pipi kanannya yang memar.

Lihat selengkapnya