“Kenapa dia disini?” Raina bertanya-tanya dalam hati sambil sesekali melirik Yiran yang duduk tepat di hadapan. Keadaan yang menurutnya diluar nalar ini, sulit untuk dipahami. Raina terus berpikir sambil menyesakkan sesendok demi sesendok bubur ke dalam mulut meski sadar rasa gugupnya akan membuat perutnya tidak mencerna makanan dengan baik. Tepat seperti dugaannya, beberapa menit kemudian ia merasa mual dan langsung meletakkan sendoknya karena tak sanggup menyantap sarapannya lagi.
Sementara Yiran sejak mulai duduk tadi hanya mengaduk-aduk isi mangkoknya tanpa menyuap sesendok bubur pun. Makin tak paham dengan maksud kehadirannya di sini, Raina menggigit bibir sambil berpikir keras, ia tahu makin berdiam seperti ini makin ia merasa canggung dan bingung. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bangkit dari kursi sambil menatap Yiran, “Ayo!” katanya singkat. Sudah siap merasa malu kalau-kalau Yiran tak mengikutinya dan memang ada di tukang bubur untuk sarapan bukan untuk bicara dengannya. Tapi untungnya Yiran langsung beranjak dan mengikuti langkahnya. Meski bingung apa yang harus ia katakan selanjutnya, setidaknya Raina tidak jadi merasa malu.
Tak begitu jauh dari tukang bubur, Raina berhenti di pinggir jalan sambil menengok ke Yiran yang dengan tenang mendekat ke arahnya. Begitu Yiran berdiri di depannya, bibir Raina malah mengatup kelu. Jelas dia benar-benar tak tahu bagaimana cara memulai pembicaraan. Dia memang tak jadi malu karena perkara tukang bubur, tapi nyatanya dia masih malu akan sikapnya kemarin.
Tenggelam dalam pikirannya, tanpa sadar Raina terus menatap Yiran. Lima detik, sepuluh detik, Raina konsisten menampakkan ekspresi bingung yang sama. Didiamkan cukup lama anehnya Yiran pun tak mengalihkan pandangan sama sekali, ia menatap balik dan mengamati sorot mata Raina.
Tatapan kosong yang nampak menyembunyikan banyak pikiran dalam kepalanya itu sama persis dengan yang ia lihat kemarin sore. Kali ini pun Yiran yakin, tatapan Raina bukan ditujukan untuk menghakimi perbuatannya kemarin atau barusan, gadis itu hanya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Entah kapan terakhir kali Yiran mau menatap langsung mata lawan bicaranya dalam waktu yang cukup lama seperti ini. Bahkan yang lebih aneh, kenyataannya bahwa saat ini mereka tidak saling bicara. Keduanya hanya saling tatap dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Yiran tanpa sadar sedang berpikir mengapa Raina hari ini terlihat manis.
Berpikir keras selama hampir setengah menit, Raina mengeliminasi semua formalitas dan basa basi yang bisa diucapkan, ia memilih lompat langsung ke poin yang menjadi sumber masalah dan perlu dibahas di antara mereka. “Jadi, kita tetep gak perlu belajar bareng?” tanyanya dengan penuh nyali.
Yiran menahan senyum, perkataan Raina bisa diartikan dia tak bermasalah dengan kejadian kemarin dan masih berusaha untuk mengajaknya belajar bersama juga berarti Raina tak membencinya. Ia berdehem sambil memasukkan kedua telapak tangan ke saku celana olahraga hitam-nya, memalingkan wajah dan melihat ke arah pohon di seberang jalan dan menyahut, “Coba sekali dulu.”
Raina memicing mata, “Bener?”
Yiran menganggukkan kepalanya singkat.
Hidung Raina mengembang sementara ia menggigit bibir atasnya. “Oke, deal ya!” serunya kemudian sambil mengulurkan tangan, menyembunyikan ekspresi wajah sumringahnya dibalik sikap sok profesional.
Yiran diam sejenak memandang tangan kecil Raina yang kukunya dipotong pendek-pendek, gadis ini sepertinya tak berniat membuat jari-jarinya terlihat lentik seperti cewek kebanyakan. Ia kemudian mengeluarkan tangan kanannya dari saku celana dan menjabatnya singkat.
Mata Raina berbinar, senyum tersungging di bibir tipisnya, seberapa pun ia berusaha menahan nyatanya jelas ia terlihat sumringah. Sambil menatap langit ia bergumam, “Emmmmmm.”
Yiran melirik, mencuri pandang dan buru-buru di alihkan ke asal tempat saat Raina menengok lagi ke arahnya.
“Gue ada beberapa pertanyaan,” lontar Raina.
Sambil kembali melemparkan pandangannya ke pohon di seberang jalan, Yiran menggedikkan dagunya.
“Catetan gue udah lu baca?” tanya Raina.
“Em,” sahut Yiran gengsi.
Raina tersenyum, “Jadi kita belajar mulai dari situ aja?” tanya Raina lagi.
“Terserah,” jawab Yiran acuh tak acuh.
“Kita mau belajar bareng dimana?” Raina makin antusias.
“Terserah,” sahut Yiran lagi.