Rintik hujan gerimis membasahi bagian luar jendela di sebelah tempat duduk mereka. Raina menyapukan pandangannya ke kafe yang baru buka beberapa bulan lalu ini. Mengambil konsep hommy, meja dan kursinya terbuat dari kayu semi unfinished dan banyak tumbuhan hidup diletakkan disudut.
Perlahan pandangan Raina beralih ke Yiran yang terdiam mengamati rintik air di kaca jendela. Bahkan di cahaya yang lumayan temaram ini, di mata Raina Yiran terlihat amat bersinar. Mata Yiran bergerak, saat dia menengok, Raina sudah mengalihkan pandangannya ke lembaran-lembaran buku diatas meja sambil berdehem.
“Jadi,” Raina membolak-balik lembaran buku dengan kasar, wajahnya merona malu karena sadar Yiran masih terus memandang ke arahnya. “Belajar Bahasa Indonesia dulu!”
Sudut bibir Yiran tersungging. Ia melipat kedua tangannya di atas meja seraya menundukkan tubuhnya dan memandang halaman buku yang Raina tunjuk.
Mendapati Yiran tak merespon dan tetap terdiam sambil memandang buku yang ia tunjuk, tangannya bergerak ragu di balik sampul buku. “Mau diganti yang lain?” usulnya sembari hendak menutup buku.
“Enggak,” tahan Yiran, jari tangannya yang diulurkan menyentuh pergelangan tangan Raina. “Nggak usah, yang itu aja.” Pintanya sambil kembali melipat kedua tangannya di atas meja.
Raina tersenyum simpul, tebakannya benar. Semalaman ia berpikir, dari mana ia akan mulai mengajari Yiran. Mempercayakan pada perhitungannya terhadap cara Yiran berbicara, ia memutuskan untuk mulai dari masalah pengefektifan kalimat. Kalau orang lain susah menyingkat kalimat panjang, Raina menebak Yiran justru kesulitan untuk menyingkat kalimat dengan tepat, karena Yiran terlihat kelewat irit dalam berucap.
Yiran menuliskan kalimat yang Raina minta dia untuk efektifkan, memandang goresan penanya Raina terpana. Baru kali ini dia melihat tulisan cowok sebagus dan serapi itu. Minder sendiri dengan tulisan tangannya yang berantakan dan tak konsisten besar kecil hurufnya.
Namun ternyata, tak perlu menunggu lama untuk Raina berhenti terpana. Saat Yiran selesai menulis menyerahkannya ke Raina, seketika rahang Raina jatuh dan mulutnya terbuka lebar. Ia tidak menyangka kalau kemampuan Yiran dalam mengefektifkan kalimat sebegini parahnya.
Mengangkat tatapannya dari tulisan Yiran ke wajah Yiran, Raina menggigit bibirnya tak mampu berkata-kata. Bagaimana bisa kalimat lima baris hanya dibuat jadi satu baris singkat yang hampir semua informasinya hilang, otak Raina berpikir keras cara menyampaikan feedback yang tak membuat Yiran malu.
Yiran menatap balik Raina yang terlihat kebingungan, mata kecil dan bulu mata lentik itu mencuri perhatiannya. Tak ingin terlihat memperhatikan, Yiran buru-buru memalingkan wajah ke arah jendela.
Padahal sedetik sebelumnya sedang berpikir keras bagaimana harus menyampaikan tinjauannya ke Yiran, tapi begitu melihat Yiran kembali menatap ke arah jendela lagi-lagi Raina terpesona. Ia sadar ia tak akan bisa fokus. Ia pun menarik nafas dalam-dalam dan bangun dari tempat duduknya. “Gue ke toilet dulu,” ucapnya, sambil mengambil ponselnya di atas meja.
Raina merangsek masuk ke dalam bilik toilet, menutup pintunya dan duduk di kloset yang tertutup sambil memegang dadanya yang berdegup kencang. Terus berusaha mengatur nafasnya agar tak semakin tersengal. Ditepuk-tepuk pelan kedua pipinya yang terasa panas. “Fokus, Raina! Fokus!” ucapnya berulang-ulang.
Ujung kakinya berjinjit gemas,“Kenapa si dia ganteng banget ampun!” meracau sambil membuka kunci ponsel dan membuka grup obrolan antara dirinya, Tami dan Duna saat beberapa detik kemudian terdengar suara seseorang yang familiar memasuki toilet.