Kavi mengamati Yiran yang duduk di samping Bagus, menimbang-nimbang langkah yang harus ia ambil, ia pun akhirnya memilih menyambangi tempat duduk Yiran dan menepuk bahunya “Boleh ngobrol sebentar?” tanyanya.
Bagus mencuri pandang dan menyimak. Kedua orang jenius yang jarang bicaranya ini, mau ngobrol berdua. Jelas ia penasaran dengan apa yang akan mereka bahas. Tak bertanya apapun, Yiran langsung berdiri dan menyalin langkah Kavi keluar kelas.
“Sorry sebelumnya mungkin kedengaran agak aneh, tapi gue mau to the point aja.” Buka Kavi. “Boleh gue tanya apa hubungan lu sama Raina?” tanyanya kemudian tanpa tedeng aling-aling.
Kedua alis Yiran terangkat, sesuai ucapan Kavi barusan, pertanyaannya memang terdengar aneh. “Kenapa emang?” Yiran balik bertanya.
Kavi menarik nafas dalam-dalam, perlu menurunkan egonya serendah mungkin untuk menyampaikan permintaan konyol ini ke Yiran. “Gue gak tau hubungan kalian apa, tapi gue minta tolong jangan sampe dia kesusahan.”
Mata Yiran berkelebat, dia tak menyangka ketua kelas yang sering disebut jenius oleh teman-teman sekelasnya ini ternyata orang yang aneh. Tak paham maksud ucapan Kavi, Yiran hanya menggedikkan kedua bahunya. “Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia.” Tukas Yiran.
Kavi hendak menyampaikan isi pikirannya lebih lanjut, tapi guru fisika yang mengajar di jam pertama sudah muncul dan mendekat ke arah mereka.
“Kalau nggak ada apa-apa, please jaga jarak!” tutur Kavi singkat lalu berjalan masuk ke kelas tepat di belakang guru fisikanya.
Di dalam kelas, Bagus menunggu dengan penuh antisipasi, kakinya bergerak-gerak penuh semangat saat Yiran dan Kavi kembali ke dalam kelas. Ia langsung merendahkan kepalanya sedikit dan berbisik ke Yiran yang baru saja menempelkan bokongnya di kursi. “Ada apa?” desaknya penasaran.
Yiran melirik sinis sambil berdecak, sudah mulai terbiasa dengan sifat ketus Yiran, Bagus hanya nyengir kuda.
“Gue mau nanya,” bisik Yiran.
Bagus mengangguk-anguk bersemangat, “Apa, apa?”
“Lu tau ada hubungan apa Kavi sama Raina anak kelas Bahasa?”