Kavi menyesuaikan langkah kaki Raina yang sedikit lebih lambat dari biasanya, sambil sesekali melirik untuk mengecek kondisi mantan pacarnya yang sedang tidak baik-baik saja itu. Dalam hati ia bersyukur menemukan Raina lebih cepat, dokter di UKS tadi bilang Raina pingsan karena kelelahan dan kekurangan oksigen. Kavi tak bisa membayangkan hal apa yang bisa terjadi kalau ia terlambat menemukannya.
Meski tak diungkapkan, Kavi merasa senang Raina membiarkannya mengantar Raina pulang. Bahkan di ruang UKS tadi saat Tami dan Duna heboh bertanya apa yang terjadi padanya, kalimat pertama yang Raina ucapkan saat ia membuka mata justru ucapan terima kasih untuk Kavi.
Kini, keduanya berjalan berdampingan menuju rumah Raina. Tempat yang bahkan Kavi belum pernah datangi saat mereka pacaran dulu, karena Raina merahasiakan tentang hubungan mereka dari orang tuanya yang lumayan konservatif.
Beberapa meter sebelum sampai ke pagar rumahnya Raina berhenti. Matanya yang masih sembab memandang Kavi canggung. “Sampe sini aja,” ucapnya pelan.
“Oh. Oh iya,” balas Kavi sama canggungnya, sambil menyerahkan tas Raina yang sejak tadi ia bawakan.
“Sekali lagi, makasih ya.” Raina membalikkan badannya dan melanjutkan langkah.
“Ina!” panggil Kavi. Membuat Raina tertegun dan berhenti. Sudah setahun ia tak mendengar panggilan itu, panggilan yang hanya digunakan oleh Kavi seorang.
Kavi mendekat perlahan, “Gue, mau minta maaf,” ungkapnya tulus. “Maafin gue atas kejadian yang lalu, semua salah paham itu nggak bakal kejadian kalau bukan karena gue, dan….” Cukup berat untuk melanjutkan kata-katanya, “dan, dan lo nggak akan ngalamin kayak gini kalo bukan gara-gara gue. Gue bener-bener minta maaf.” Tunduknya penuh sesal.
Raina menggigit bibir, matanya berkedip-kedip menahan agar tangisnya tak keluar. Meski banyak kata-kata yang ingin diucapkan, ia memilih menahan semuanya karena mau dibahas bagaimana pun sebenarnya yang lalu sudah berlalu. Ia kemudian mengangguk, “Maafin gue juga.” Balasnya. “Gue juga salah. Mudah-mudahan kedepannya kita bisa temenan baik lagi,” harap nya.
Kavi mengangkat kepalanya dan langsung mengangguk setuju. Dengan senyum tersungging dan tatapan berbinar ia mengulurkan tangannya. Keduanya berjabat tangan dibawah langit oranye senja. Melepaskan luka masa lalu, menyelesaikan apa yang belum terselesaikan, melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Keduanya tersenyum, tak menyangka akan datang hari seperti ini, hari dimana beban mereka menjadi lebih ringan, hari dimana masalah yang sudah tahun membelenggu terlepaskan.
***
Yiran berbaring di pinggir kasur dengan kaki masih menyentuh lantai. Tangan kirinya dijadikan bantalan kepala sementara tangan kanannya sibuk memantulkan bola tenis di dinding sambil merasakan keanehan dalam dirinya. Ia tak paham mengapa benaknya terasa terusik dengan hal yang tak seharusnya menjadi perhatiannya.
Ia tak paham mengapa tadi di sekolah saat dipanggil Raina pura-pura tak mendengar dan malah menghindar, padahal paginya gadis itu yang mendekati duluan, kejadian itu membuatnya cukup tersinggung. Namun di sisi lain ia pun makin penasaran dengan alasan dari tingkah Raina yang seperti itu. Terlebih ketika dirinya sudah mendengar cerita yang terjadi antara Raina dan Kavi dari Bagus. Ia menduga-duga apakah Raina mengabaikan panggilannya karena tidak mau terlihat oleh Kavi yang saat itu berada di dalam kelas, apa mereka memang masih ada hubungan karena menurut Bagus, Raina memutuskan hubungan itu secara sepihak. Memikirkan dirinya seperti terlihat bodoh di antara pasangan romansa sekolah yang ada skandal itu membuat Yiran benar-benar tersinggung.
Rasa tersinggung juga yang membuatnya tanpa sadar jadi menengok ke arah Kavi. Akhirnya Yiran pun menjadi salah satu orang yang menyadari gerak-gerik gelisah Kavi yang selama jam pelajaran berlangsung. Dan saat Kavi tak kembali setelah membawakan buku Guru Matematika ke kelas Raina padahal mata pelajaran selanjutnya sudah dimulai. Yiran makin tak melepas pandangannya dari kursi kosong Kavi yang ada di barisan paling depan dan berhadapan dengan meja guru itu.
Awalnya ia hanya sedikit penasaran karena Kavi menegurnya dengan ucapan yang aneh pagi ini. Dia berpikir dengan bertanya ke Bagus dan mengetahui hubungan Kavi dan Raina, kedepannya ia akan mudah menentukan sikap. Tapi saat tiba-tiba Raina mengacuhkannya dan keadaan sekolah langsung heboh karena Kavi menggendong Raina yang pingsan dan membawanya ke ruang UKS, Yiran merasa pikirannya mendadak tak karuan. Beberapa perasaan tercampur dalam benaknya dan terasa asing baginya.
Ia sempat berpikir mungkin hari-harinya kedepan akan lebih menyenangkan kalau dia mengenal Raina lebih dekat, tapi sekarang ia merasa tindakan seperti itu hanya membuang-buang waktu dan tidak cocok dengan dirinya. Ia tak mau berurusan dengan kedua orang yang membuatnya tersinggung dan kelihatan bodoh seperti tadi.
Seseorang tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan mendorong ke dinding hingga menimbulkan bunyi yang kencang. “Ran!” seru gadis yang lebih tua tujuh tahun darinya, berdiri di ambang pintu dengan wajah masam dan tangan kiri bertolak pinggang. “Jangan berisik bisa gak sih! Gue lagi belajar!” sembur Sinta, kakak tiri Yiran yang kamarnya tepat di sebelah kamar Yiran. Ia merasa terganggu dengan suara pantulan bola tenis di dinding.
Tak menyahut, tak menengok, Yiran hanya menggenggam bola tenisnya dan masih terdiam di posisi yang sama. Setelah Sinta menutup pintu dan terdengar kembali masuk ke kamarnya sendiri, Yiran baru mengangkat tubuhnya kembali duduk di pinggir kasur. Sesaat kemudian ia merasakan ponsel di saku celananya bergetar.
Mengeluarkannya malas-malasan, Yiran terdiam saat melihat pesan yang masuk di ponselnya adalah dari Raina.
Yiran. Sorry tadi gue gak enak badan jadi pulang cepet. Besok pulang sekolah kita ngobrol buat belajar bareng gimana?
Tak membalas, Yiran mengunci layar ponselnya lagi dan melemparnya ke atas kasur. Mengesampingkan rasa penasaran dan rasa lain yang asing di benaknya, Yiran memutuskan untuk tak berurusan lagi dengan gadis ini daripada waktunya terbuang sia-sia.
***
Matahari sudah mulai tenggelam namun Raina masih bertahan duduk sendirian di pinggir lapangan, sementara Yiran dan teman-temannya masih juga belum kelihatan berniat menghentikan permainan basket mereka yang entah sudah berapa babak.
Cewek-cewek lain yang berkumpul di pinggir lapangan untuk menyoraki Yiran sudah bubar dan pulang sejak sejam lalu, tapi Raina yang merasa tak enak hati atas kejadian kemarin dan khawatir karena Yiran sama sekali tak membalas pesannya, bersikeras menunggu Yiran selesai bermain tak peduli jam berapa.
Yiran sendiri tak mau menengok ke Raina sama sekali. Gadis itu sudah mengikutinya diam-diam sejak ia keluar kelas. Meski sedikit khawatir karena wajah Raina yang sekilas terlihat pucat, Yiran yang sudah membulatkan keputusan pun memilih tak ambil pusing dengan apapun yang terjadi pada cewek itu.
“Dia tidur?” bisik Andre salah satu anak kelas Yiran yang ikut bermain basket.