Sepanjang hari Raina hanya diam termenung. Tatapannya kosong dan samar-samar terlihat lingkaran hitam di bawah kedua matanya. Tami terus menerus menengok Raina dan melempar tatap ke Duna. Meski ingin bertanya, keduanya lebih memilih diam. Walaupun bisa dibilang mereka teman yang sangat dekat, tapi pribadi Raina memang sangat tertutup. Dia sangat jarang bahkan hampir tidak pernah menceritakan keluh kesah atau masalah yang dialaminya terutama jika berurusan dengan keluarga.
Di awal pertemanan, Tami pernah sangat berusaha bahkan hampir memaksa Raina untuk menceritakan masalah yang sedang dihadapi. Dan hasilnya nihil, makin mereka bertanya, makin Raina berusaha menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja dan menutupi kondisi dirinya yang sebenarnya. Ia bahkan kelihatan jelas memaksa dirinya terlihat ceria padahal sorot matanya sangat menyedihkan. Dari situ mereka memutuskan untuk memberi ruang pada Raina, untuk tak bertanya sebelum Raina yang cerita lebih dulu.
“Gue ke toilet dulu,” kalimat pertama yang Raina tujukan untuk Tami dan Duna pada hari. “Gak usah, gue sendiri aja,” sambungnya menolak, melihat kedua temannya langsung berdiri dan berniat mengantarnya. Ia paham karena kejadian beberapa hari lalu Tami dan Duna khawatir ada yang mengunci Raina di toilet lagi, tapi saat ini ia memang ingin sendirian, pun tak mau selalu merepotkan kedua temannya.
Tami dan Duna memandang Raina yang berjalan keluar kelas. “Gue khawatir deh,” desah Tami disambut anggukan dari Duna.
“Tapi mau gimana lagi, dia nggak bakal cerita,” Duna menghela nafas berat.
“Semoga aja nggak ada yang serius.” Harap Tami.
Di lorong kelas, Raina berjalan sambil menunduk dan tak sengaja menabrak bahu seseorang. “Eh sorry!” serunya lemah, langsung mematung saat mendapati orang yang ia tabrak barusan ternyata Kavi.
Kavi menilik wajah pucat Raina, “Lu masih sakit?” Tanyanya khawatir.
Raina menggeleng, dan kembali menunduk. “Gue duluan,” pamitnya singkat sambil lalu.
Kavi tertegun di tempat, ekspresi wajah itu, ekspresi wajah Raina barusan. Ia pernah melihatnya. Ia mengingat dengan jelas, Raina seperti ini juga saat itu. Saat hubungan mereka mulai merenggang dan saat Raina memendam sendiri masalah yang sedang dihadapi. Setiap kali ia bertemu dengan Raina ia melihat aura yang suram itu. Saat itu ia terlambat tahu. Beberapa minggu setelah Raina memutuskan hubungan. Gita menghubunginya dan memakinya habis-habisan. Saat itu Kavi baru tahu kesulitan apa yang sedang Raina hadapi, baru tahu alasan dari sikap Raina yang mendadak sensitif dan emosional. Namun keadaan sudah terlampau kacau dan sulit diperbaiki, Raina pun sudah menjauhinya habis-habisan. Yang tersisa hanya rasa kasihan dan bersalah, yang membuat Kavi akhirnya memilih untuk menjaga jarak juga dengan Raina, berpikir mungkin itulah yang terbaik dan yang Raina mau.
Saat membalikkan badan masih dengan sorot mata penuh ke khawatiran ia mendapati Yiran melihat ke arahnya dari depan pintu kelas. Ekspresi wajah Kavi berubah dingin, melengos ke arah lain dan bersikap acuh tak acuh seraya berjalan masuk ke kelas, tanpa melirik Yiran sedikit pun.
Sementara Yiran yang berdiri sambil memasukkan tangannya ke saku celana masih memandang ke arah Kavi dan Raina bicara tadi, rahangnya mengejang ujung matanya berkedut. Merasa terusik, tak suka dengan pemandangan tadi.
Ia mengeluarkan ponselnya sambil masuk kedalam kelas, mengetik pesan, “Jangan lupa nanti pulang sekolah di tempat kemarin,” dan mengirimkannya ke Raina. Terus memandangi ponselnya sambil berjalan ke tempat duduk.
Di sampingnya Bagus mencuri-curi pandang, matanya memicing dan berhasil melihat layar ponsel Yiran. Membaca sekilas chat yang barusan Yiran kirim ke Raina. Kedua sudut bibirnya turun.
Menunggu balasan, dahi Yiran berkerut. Chat-nya jelas terkirim, tapi sudah berjalan tiga menit tak ada jawaban. Kakinya bergerak naik turun di bawah meja. Ia pun berdiri dari kursinya lagi, berniat mencegat Raina di depan pintu saat Raina lewat lagi. Tapi tepat saat ia hendak meninggalkan kursi, balasan dari Raina masuk. OK. Dua huruf itu berhasil membuat bibir Yiran melengkungkan sedikit senyum tipis hingga lesung pipinya terlihat jelas. Ia kembali duduk, menaruh ponselnya di atas meja dan mulai membuka buku pelajarannya dengan santai.
Bagus mengerucutkan bibir nya, meskipun tak banyak bicara ternyata seorang Yiran cukup mudah dibaca gelagatnya. Ia terkekeh dalam hati, menurutnya ini suatu hal yang seru. Yiran si anak baru populer yang bahkan Lisa si idola sekolah saja terlihat mengincarnya, Raina mantan pacar Kavi, yang jelas-jelas jadi punya skandal di sekolah karena Lisa. Belum lagi Yiran meskipun tampan maksimal tidak pernah terlihat tertarik dengan satupun cewek yang mendekatinya di sekolah, ternyata bisa kelihatan gusar saat chat-nya tidak dibalas dalam hitungan menit oleh Raina. Ia terkekeh diam-diam, hal seru ini hanya akan dia nikmati sendiri, bersyukur Yiran duduk sebangku dengannya. Ia tak akan memberitahu siapapun tentang cerita seseru ini.
***
Yiran menatap tajam wajah Raina yang sibuk menjelaskan pelajaran sambil menulisnya di selembar kertas. Menyadari Yiran memandang ke wajahnya bukan ke tulisannya. Raina berhenti menulis dan langsung memegang wajahnya. “Ada yang aneh di muka gue?” Tanyanya waspada.
Yiran tak menyahut apapun, matanya malah menyipit tajam. Raina buru-buru mengambil cermin kecil dari dalam tempat pensilnya dan melihat bayangan wajahnya, mengecek setiap sudut wajahnya dan memastikan tak ada kotoran atau hal memalukan lainnya. Tapi nyatanya wajahnya bersih.
Raina kembali menatap Yiran ragu-ragu sambil meletakkan cerminnya di atas meja. Ini orang kenapa sih. Gerutunya dalam hati. Merasa mulai kewalahan dengan tatapan Yiran, takut wajahnya merah tersipu. “Ada yang mau lu tanyain?” Tembaknya.
Yiran menimbang sejenak, sebenarnya sejak tadi ia ingin menanyakan tentang seperti apa hubungan Raina dengan Kavi saat ini, tapi sejak datang Raina kelihatan lesu tak seperti biasa. Ketimbang menanyakan hal yang bisa membuatnya terlihat konyol, lebih baik menanyakan hal yang jelas di depan mata, “Lu lagi ada masalah?” Tanya Yiran pada akhirnya.