ASLOVEGOESBY

Arisyifa Siregar
Chapter #12

12. Skinship

Di tengah keramaian kantin saat jam makan siang, di saat banyak pasang mata siaga memandang, seorang menjegal kaki Raina hingga ia tersandung dan jatuh tengkurap di lantai kantin, menumpahkan semangkuk bakso yang dipegangnya dan wajahnya hampir menghantam lantai. Seluruh mata langsung tertuju padanya, banyak yang kaget dan kasihan tapi tak sedikit yang menertawakan.

Tami dan Duna buru-buru menghampiri, membantunya bangkut dari lantai dan memapahnya berdiri. Raina menengok ke tempat orang yang kakinya terjulur ke jalan tadi, Cindy dan Nanda duduk disana sambil cekikikan dan tak melihat ke arahnya. Bersikap seolah-olah yang terjadi pada Raina barusan bukanlah perbuatannya.

“Udah-udah,” bisik Duna, menepuk-nepuk bahu Tami tahu temannya ini memandang ke arah yang sama dan wajahnya terlihat merah padam siap meluapkan amarah. “Ayok ayok!” ajaknya ke Tami dan Raina agar segera meninggalkan kantin, menjauh dari pandangan-pandangan menyebalkan yang ada di sana.

“Emang kurang ajar itu cewek!” umpat Tami sambil masuk ke dalam kelas membanting bokongnya kasar di kursi.

“Kenapa sih mereka masih ngincer gue aja, salah gue apa sama mereka,” timpal Raina, lalu meringis kesakitan.

“Kenapa?” Tami buru-buru menunduk, memandang pergelangan kaki Raina.

Pergelangan kaki kanannya terkilir, waktu menahan beban tubuh saat kaki kirinya tersandung tadi. Terlebih kakinya ini pernah terluka beberapa tahun lalu saat terjatuh dari sepeda. Nampaknya cedera lamanya muncul lagi karena kejadian tadi, kakinya terlihat merah dan mulai bengkak.

“Kita ke UKS yuk!” Tami beranjak dari kursinya dan langsung  memegangi lengan Raina.

Raina bergeleng, “Nggak usah, bentar lagi pelajaran mulai.”

“Lu yakin?” Tami menatap khawatir.

Raina mengangguk-angguk. Tami kembali duduk di kursinya, sambil melipat kedua tangannya di depan perut dan kembali merengut. “Sebenarnya itu orang pada kenapa sih?” gerutunya tak habis pikir.

“Sebenernya..” Duna berdehem, “Gue denger sesuatu tadi pagi, waktu lagi di toilet,” ungkapnya ragu-ragu.

“Apaan?” desak Tami tak sabaran.

“Kayaknya, kalau gue gak salah denger, ada yang liat lu.” Ia mengedikkan dagu ke arah Raina.

“Gue?” Raina memastikan. “Dimana?”

“Di pinggir jalan, sama Yiran, kemarin sore.” Jelas Duna.

Tami dan Raina sama-sama memejamkan mata dengan dahi berkerut. “Sialan!” umpat Tami, sedangkan Raina langsung memijat dahinya dengan jempol dan telunjuk.

“Kenapa nggak bilang dari pagi sih!” keluh Tami kemudian, Duna langsung memasang wajah memelas dan minta maaf.

“Pantesan aja mereka mulai lagi,” gumam Raina pelan, terdengar jelas oleh Tami, emosinya makin memuncak.

“Ya tapi emang kenapa sih!” protesnya, “Emang semua cowok ganteng di sekolah itu punya Lisa? Emang Yiran sukanya sama Lisa?” ucapnya geram.

“Lagian Yiran juga nggak suka sama gue, kenapa mereka harus ketakutan sih,” Raina berusaha menimpali tapi Tami  malah langsung merengut tak setuju.

“Gue yakin Yiran suka sama lu!” tunjuknya ke Raina.

Bibir Raina mengerucut dan kepalanya menggeleng, “Nggak. Lagian Yiran terlalu sulit dijangkau, makin gue sering ketemu dia, makin gue sadar dia diluar jangkauan!” ungkap Raina, satu-satunya hal yang selalu ia bagi dengan Duna dan Tami hanya urusan tentang cowok.

“Nggak! Gue yakin Yiran suka sama lu!” debat Tami yakin. “Kalau nggak, mana mungkin dia mau nyewain tempat buat lo berdua belajar, nyempetin belajar sama lu tiap Senin sama Rabu padahal jadwalnya dah padet sama les?” cecarnya.

“Yaaaa,” Raina menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal, “Dia kan perlu perbaikan nilai Bahasanya?”

Kelopak mata Tami jatuh, ia melemparkan tatapan sebal, “Lu yakin Yiran segitu butuhnya sama ajaran lu?”

Lihat selengkapnya