ASLOVEGOESBY

Arisyifa Siregar
Chapter #14

14. Tak Rela

Raina berdiri melamun di pinggir jalan. Mengenakan jaket biru belel kebesaran yang tak diresleting, juga kaos putih dan celana training hijau yang nabrak dengan warna jaketnya. Rambutnya dijepit acak-acakan. Wajahnya bahkan jauh lebih kusut dari penampilannya. Tatapan kosongnya memandang ke aspal di tengah jalan, sesekali matanya berkedip lambat.

Barusan ia mengantar Om Heru naik taksi, percakapan dengan Om Heru di rumahnya cukup singkat. Selama pembicaraan Om Heru terlihat jelas terus menerus berusaha menenangkan Raina dengan sikap positifnya. Meyakinkan kalau kondisi ayahnya baik-baik saja, sempat sakit tapi hanya karena kelelahan. Ayahnya juga bekerja cukup keras di pabrik sepatu Om Heru lima bulan terakhir.

Saat Raina membahas uang yang kemarin ia titipkan ke Gita, Heru buru-buru menjelaskan kalau uang itu adalah sebagian dari gaji ayahnya. Entah benar atau tidak, karena Raina tahu sejak dulu Om Heru selalu merasa punya hutang budi ke ayahnya yang saat remaja dulu menghidupi dan membesarkannya. 

Meski semua terdengar baik-baik saja Raina masih tidak yakin sebelum mengecek langsung keadaan ayahnya, tapi ponselnya masih tak bisa dihubungi sejak seminggu lalu, membuat Raina semakin ragu dengan semua ucapan Om Heru. Tadi ia tak sampai hati membahas masalah rentenir yang datang ke rumah. Takut menambah beban Om Heru yang kemungkinan akan langsung berusaha membantu. Sementara ini ia berusaha menampik semua pikiran negatif di kepalanya, memikirkan jalan keluar dengan kepala dingin.

Sadar sudah berdiri terlalu lama di pinggir jalan, Raina bergerak membalikkan badannya untuk kembali masuk ke gang rumahnya. Tapi baru setengah langkah, ia langsung berhenti, matanya berputar, kemudian menengok ke seberang jalan memastikan yang barusan sekilas terlihat. Benar saja, disana Yiran tengah berdiri memandang ke arahnya.

Raina terperangah, mengucak-ucak matanya dengan punggung tangan, merasa tak mungkin melihat Yiran disini, jam segini, tapi sosok Yiran yang dilihatnya bergerak maju dan menyeberang jalan. Makin lama makin dekat dan terlihat jelas kalau Raina tak sedang berkhayal.

“Yiran?” panggilnya bingung saat Yiran menghampirinya.

Yiran menggerakkan kepalanya sedikit menunduk, meneliti pergelangan kaki Raina. Kemudian mengangkat tangannya hendak mengecek suhu tubuh Raina dari dahinya, namun gadis ini reflek bergerak selangkah mundur dengan mata membelalak.

“Kok lu disini?” tanya Raina sambil berkedip-kedip.

“Katanya lu sakit,” sahut Yiran.

“Gue?” Raina menunjuk dirinya sendiri, lalu bergeleng, “Nggak.” Tandasnya bingung.

Yiran maju selangkah mendekati Raina, “Terus kenapa nggak masuk?” ucapnya menatap wajah Raina yang hanya berjarak beberapa sentimeter di bawah wajahnya.

Raina mematung kemudian cegukan dengan mata mengerjap. Yiran menatapnya semakin lekat, menyapukan pandangan ke seluruh bagian wajah Raina. Memandang alis hitamnya yang tak terlalu tebal, mata sembab nya yang terlihat mengantuk, hidung kecilnya yang agak bulat, pipinya yang tembem dan bibir tipisnya yang mungil.

Bola mata Raina bergerak ke kanan dan kekiri, tak tahan dipandang Yiran seperti ini, kakinya bergerak mundur selangkah, tapi tangan Yiran tiba-tiba melingkar dibelakang tubuhnya, gadis ini tak bisa bergerak kemana-mana. Matanya berkedip-kedip cepat, cegukan dalam rangkulan Yiran. Bibir Yiran melengkungkan senyum, setelah memandang beberapa saat ia melepas tangannya dari Raina.

Raina masih berdiri kaku di tempat, lalu menunduk, tak berani melihat mata Yiran. Jantungnya terasa dalam hentakan maksimal membuat wajahnya panas karena aliran darah yang kencang tiba-tiba. Ia buru-buru menutupi pipinya dengan kedua tangan, mundur dua langkah menjauh.

Lihat selengkapnya