Suasana begitu suram seakan awan hitam pekat memenuhi seisi ruangan. Duka menggelegar dan menyambar tanpa ampun hingga semua yang ada tak kuasa menahan rasa sakit yang muncul tiba-tiba di hati dan tubuh mereka.
Yani meraung-raung, tangisnya tumpah ruah meledak tak tertahan. Gita memeluknya erat-erat dengan air mata deras membanjiri wajahnya. Di sisi lain tempat tidur, Raina berdiri mematung menatap kosong ke arah ayahnya yang baru saja dinyatakan meninggal dunia oleh dokter. Heru merangkul ponakan satu-satunya ini, dalam pelukan Heru tangis Raina akhirnya pecah.
“Papa, Om! Papaaaaaa!!!!!” jeritnya lirih. Heru mengelus-elus punggung Raina dan tak mampu menahan tangis. Ia baru saja kehilangan saudara dan kerabatnya satu-satunya. Hatinya begitu perih melihat keponakannya yang sebelumnya sudah kehilangan ibu saat masih kecil ini harus kehilangan ayah juga di usia yang masih belia.
“Sabar, sabar,” ucap Heru, “Ikhlasin, seenggaknya papamu udah gak sakit lagi,” Ia terus berusaha menenangkan Raina, meski tahu usahanya tak akan berhasil.
Raina terus terisak, tangisnya berubah menjadi rintihan. Tubuhnya gemetar hebat saat ayahnya ditutup dengan kain putih oleh suster jaga. Beberapa saat kemudian badannya menjadi tak terasa, Raina lunglai, jatuh pingsan di tangan Heru.
Gita dan Yani langsung berlari menghampiri, membantu Heru memapah Raina dan membaringkannya di sofa. Keadaan mereka tak jauh menyedihkan. Semalaman tak ada satupun dari mereka yang tertidur, semua tak henti-hentinya berdoa agar ayah Raina segera bangun. Namun tepat jam dua belas siang tadi, nafas terakhirnya berhembus, ia pergi tanpa sempat menyampaikan kata-kata apapun ke keluarganya yang sudah ia tinggal berbulan-bulan.
***
Beberapa menit lalu Kavi yang melewati jalan di depan gang rumah Raina terdorong untuk turun dari mobilnya dan mampir untuk mengecek keadaan. Kini ia bergerak ragu-ragu, bolak-balik di depan rumah Raina sambil menimbang apakah hal ini pantas untuk dia lakukan mengingat dia sudah bukan siapa-siapa lagi bagi Raina. Tapi Raina sudah dua hari tak datang ke sekolah, ia juga mendapati Yiran, Tami dan Duna masih belum tahu kabar tentang Raina. Bahkan saat ia diam-diam menanyakan ke Mia, Mia juga bilang tidak ada kabar lagi dari Raina, malah ia juga diam-diam mengawasi obrolan Tami dan Duna. Hal ini membuat Kavi ikut resah, seberapa pun ia berusaha untuk tak peduli, hatinya tetap khawatir tentang keadaan Raina.
Sekitar lima menit Kavi berdiri di depan pagar rumah Raina dan saat dirinya hendak kembali ke mobil, ia melihat seseorang muncul dari ujung gang dengan langkah terburu-buru. Bapak-bapak berpeci itu dari jauh seakan sudah menatap ke arahnya. Dengan penuh antisipasi, Kavi pun menghampiri dan menyapa.
“Temennya Raina, apa temen Gita?” tebak bapak berkumis itu.