Di depan pintu rumah Raina mematung, matanya menatap nanar ke arah Kavi yang berdiri di depan teras. Tanpa bicara apapun Kavi langsung menghampiri dan memeluknya. Tangis Raina kembali tumpah tak terbendung dalam pelukan Kavi yang tak ia duga akan muncul di hadapannya seperti ini.
Beberapa menit kemudian saat tangisan Raina sudah reda, mereka duduk di pojok teras rumah. Masih terdiam, Kavi menyapukan pandangannya ke pakaian yang Raina kenakan. Pakaian yang ia pakai pergi ke taman bermain dengan Yiran. Pakaian yang sama sekali tak cocok dengan hari pemakaman seperti ini hingga Kavi berpikir Raina pasti sama sekali belum istirahat ataupun mengurus dirinya selama dua hari kemarin.
“Ina,” panggil Kavi pelan saat Raina bersandar miring di tiang rumah. “Gue turut berduka cita.”
Raina mengangguk lemah. Pikirannya kosong, hatinya perih. Ia sudah sangat lelah menangis, tapi air matanya terus keluar begitu saja.
Telapak tangan kiri Kavi mengepal, ia tak tahu apakah ini saat yang tepat, tapi ia merasa ia harus segera menyampaikannya. “Ina,” panggilnya lagi.
Raina masih diposisi yang sama, tak menengok.
“Gue tau, mungkin ini bukan waktu yang tepat,” ucapnya hati-hati. “Tapi menurut gue, baiknya lu ngabarin Yiran, dia bener-bener kebingungan nyariin lu.”
Mendengar nama Yiran, dada Raina terasa makin sakit. Ia memejamkan matanya lekat-lekat, bibir dan tangannya gemetar. Ia kemudian menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Melihat respon Raina, mata Kavi melebar. Ia menggeser tubuhnya mendekat dan sedikit menunduk, meneliti wajah Raina dari depan.
“Kenapa?” tanyanya, “Lu harus kasih tau dia.”
Raina menggeleng lagi, ia membuka matanya perlahan. “Dia punya masa depan yang bagus Kav, dia diterima di universitas, prestasinya bagus, keluarganya sukses,” gumam Raina pelan.
Kavi mengerutkan dahi, “Terus kenapa?” Pungkasnya, tak paham dengan pikiran Raina.
“Papa gue meninggal dengan status tersangka, Kav” Ungkap Raina.
Kavi membelalak terkejut, kembali duduk tegak.
“Dia juga ninggalin banyak utang. Dia meninggal setelah beberapa bulan kesakitan di penjara tanpa kasih tau keluarganya. Dan pergi tanpa kabar selamanya.” Lanjut Raina, kini ia menengok dan menatap Kavi. “Menurut lu, gue ada waktu buat ngejar mimpi gue? Buat kuliah? Buat nepatin janji gue sama Yiran kuliah bareng-bareng?”
Nafas Kavi tercekat, tak bisa menjawab pertanyaan Raina yang terasa perih bahkan bagi dirinya yang hanya mendengar bukan mengalami. Kavi tak bisa membayangkan betapa sakit perasaan Raina mengatakan dan mengungkapkan hal ini padanya.
“Yang ada dipikiran gue saat ini cuma ngebersihin nama papa gue, ngelunasin semua utang-utang ke rentenir sebelum mereka neror Gita dan Mama Yani lagi. Cari kerja, dan bales budi ke Om Heru.” Raina meneruskan, “Gue gak bisa ceritain semua ini ke Yiran, Kav.” Ucap Raina lirih, ia kini menundukkan kepalanya menatap tanah di bawah kakinya. “Gue gak mau ngerusak masa depan Yiran. Gue gak mau jadi beban. Biarin dia ngelupain gue, mumpung baru sehari kita pacaran.”
“Sorry, Na, sorry,” ujar Kavi penuh sesal. Ia melebarkan tangannya dan merengkuh bahu Raina lalu menepuk-nepuk lengannya lembut. Mulutnya tertutup rapat, ia tak bisa memberikan kata-kata menenangkan apalagi motivasi. Setelah mendengar semua ini dia paham mengapa Raina memilih untuk merahasiakannya dari semua orang. Jika itu terjadi pada dirinya, ia pun akan melakukan hal yang sama. Karenanya, meskipun masih berempati pada keadaan Yiran, Kavi akan mendukung Raina untuk terus bersikap egois demi melindungi dirinya sendiri.
***
Yiran berdiri terdiam di depan gedung dimana tes ujian masuk universitas yang seharusnya Raina ikuti dilaksanakan. Rasa putus asa menyelimutinya, ia sudah tak berani berharap tapi langkah kakinya tetap membawanya kesini. Detik demi detik, menit demi menit, hingga hitungan jam, Raina benar-benar tak muncul. Pupus sudah harapan Yiran. Gadis yang dicintainya sudah dua minggu tak ada kabar. Tak datang ke sekolah, tak ada informasi apapun. Menghilang tanpa jejak seakan ditelan bumi.