ASLOVEGOESBY

Arisyifa Siregar
Chapter #23

23. Selamat Tinggal

Berdiam diri di dalam kamar dengan keputusasaan yang menggerogoti semangat hidup. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Yiran tak pernah mendapat jawaban yang ia cari. Sosok Raina bahkan mulai memudar dari ingatan kalau saja ia tak terus-terusan melihat fotonya di ponsel. Wajahnya pucat, lingkaran hitam ada di sekeliling matanya. Yiran sudah tak lagi mengenal waktu dan hari, semua terasa sama dan terus berjalan begitu saja di kamarnya yang gelap tempat ia membuka matanya pagi dan malam.

Terakhir ia datangi, rumah Raina ternyata sudah dijual. Pemilik yang baru bilang ia buru-buru membeli karena rumah itu dijual dengan harga yang jauh dibawah pasaran. Saat ditanya tentang pemilik sebelumnya dia menjawab tidak tahu karena selama ini hanya berhubungan dengan makelar. Tentunya saat disambangi, makelarnya tidak bisa memberikan informasi apapun terkait kontak penjual rumah karena bersifat rahasia.

Nomor telepon Raina dan Gita juga sudah tak pernah aktif. Jelas kemungkinan keduanya sudah berganti nomor. Yiran dipaksa sadar oleh keadaan, Raina tak akan pernah kembali. Ia bahkan tak tahu apa gadis yang dicintainya itu masih hidup dan sehat. Ia tampaknya tak akan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan ketidaktahuannya ini yang paling menyiksanya.

Pintu kamarnya diketuk, Lidia, ibu kandung Yiran menyelipkan kepalanya di antara celah pintu. “Ran, makan dulu yuk!” ajaknya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, anaknya itu tak menyahut. Menunggu beberapa saat Lidia pada akhirnya hanya bisa menghela nafas sambil menutup pintu lagi pelan-pelan.

Yiran memejamkan matanya, di dalam kamarnya yang suram dan pengap, di atas kasurnya yang terasa dingin dan kosong. Pikirannya berantakan. Ia tahu Raina tak akan muncul saat acara kelulusan nanti, ia bahkan sudah tak berani berharap lagi. Matanya basah, bibirnya gemetar, ia merasa tetap tak bisa memahami keadaan. Ia tahu ia harus segera bangkit dan memulai kehidupan perkuliahannya, tapi yang ia tak tahu, dari mana dan bagaimana ia harus memulai. Waktunya seakan terhenti, hanya kenangan yang tersisa, cahaya hidupnya meredup perlahan-lahan, dan rasa bahagianya menghilang tertelan kerinduan.

***

Tami menghentikan langkahnya di tengah lorong, ia menyipitkan matanya dan terus memperhatikan Kavi yang keluar dari ruang guru sambil membawa dua lembar kertas di tangannya. Selama ini ia memang sudah memperhatikan, gelagat Kavi yang tampak mencurigakan, meskipun sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata ke Duna yang tak begitu paham isi pikirannya.

Mempercepat langkahnya, Tami berlari mengejar Kavi yang terlihat berjalan ke arah lobi sekolah. Tanpa memanggil, tanpa peringatan, ia langsung merebut dua kertas yang ada di tangan Kavi dan membaca dengan cepat nama yang ada di masing-masing lembaran surat keterangan kelulusan itu. Dugaannya benar, satu punya Kavi, satu punya Raina. Mengangkat wajahnya dengan mata berkilat, “Lu ceritain semuanya sekarang, atau gue kasih tau Yiran!” Ancam Tami tanpa basa-basi.

Kavi terkejut, tak tahu bahwa Tami gadis yang secerdik ini. Ternyata dia bisa membaca situasi dengan cepat dan menembak tepat sasaran. Sadar tak ada cara untuk menghindar, ketimbang memperkeruh keadaan Kavi akhirnya mengangguk sambil menadahkan tangan minta berkasnya kembalikan. “Besok ikut gue ke Bandung.”

Kedua alis Tami terhentak bersamaan, “Bandung?”

“Minta nomor telepon lu!” Kavi menyodorkan ponselnya ke Tami, “Kirim alamat lu ke gue, besok pagi gue jemput.” Tambahnya.

Sikap Kavi membuat Tami terpana, sambil mengembalikan ponsel Kavi setelah memasukkan nomor teleponnya ia terus memandangi wajah Kavi yang langsung melakukan panggilan ke nomornya.

“Itu nomer gue.” Ucap Kavi dingin. “Besok, jam tujuh gue jemput.” Imbuhnya tanpa ekspresi, lalu berjalan meninggalkan Tami yang mematung di tempat.

“Sial!” Tami memegang dadanya yang deg-degan tak karuan. “Kenapa? Kenapa tadi dia keren banget?” gumamnya  terpesona. Buru-buru menampar pipinya sendiri. “Dia mantannya Raina bego!” umpatnya. “Mantannya Raina, Tami! Mantan Raina!” Ia ucapkan berkali-kali sambil terus berjalan.

“Arrrghhh!!!” langkahnya terhenti. Tami berjongkok di tengah lobi sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. “Gawat!” ia mengerang. “Kayaknya gue suka sama Kavi.”

***

Raina keluar rumah sambil membawakan tas Gita dan Yani. Satu hari berat lainnya harus ia jalani. Ia harus segera melepaskan kepergian kedua orang yang selama enam tahun ini sudah menjadi keluarganya. Mama Yani memilih pulang ke kampungnya di Jogja dan bertani untuk melanjutkan hidupnya, Gita juga akan melanjutkan sekolahnya disana. Pahitnya kenyataan harus mereka terima, tanpa ayah Raina, mereka tak ada hubungan apa-apa. Keadaan yang sulit juga membuat mereka tak bisa tetap bersama. Jalan hidup mereka kini berbeda. Raina juga tak ingin melibatkan mereka dengan urusan-urusan yang ditinggalkan ayahnya. Cukup dirinya saja, ia tak ingin Mama Yani dan Gita lebih menderita.


Gita memberikan pelukan erat ke Raina, keduanya sama-sama menahan tangis. “Kita harus ketemu sesekali ya!” pinta Gita sambil melepaskan pelukannya.

Lihat selengkapnya