Raina duduk bersila di lantai di antara mahasiswa baru lainnya, di hadapan mereka para senior sedang bergantian menjelaskan tentang sejarah kampus dan jadwal kegiatan orientasi mahasiswa yang sedang ia jalani. Namun sejak awal ia tak bisa menyimak sama sekali. Matanya hanya tertuju pada satu orang yang berdiri tepat di belakang Wakil Ketua Senat Mahasiswa perwakilan Jurusan Manajemen Bisnis yang sedang menyampaikan pidatonya.
Ia tahu ia tak boleh melakukan hal ini, tapi tubuhnya tak menuruti pikirannya. Ia tak mampu menahan dan terus menatap Yiran. Dalam diam ia tersiksa dengan semua perasaan campur aduk yang mengacaukan fokusnya. Raina tak pernah menyangka ia benar-benar bertemu Yiran. Sosok yang selama ini hanya ia pandangi di foto, kini ia lihat secara langsung. Tak menyangka kalau bisa jadi yang kemarin ia lihat benar-benar Yiran.
.
Bukan hanya Raina, Yiran pun mendadak kacau. Tubuhnya berdiri di atas panggung, tapi pikirannya pergi entah kemana. Saat ia memasuki ruangan dan melihat sosok Raina ada di antara mahasiswa baru, ia pikir ia berhalusinasi, ia pikir sekedar mirip, atau ia pikir ia salah lihat. Namun ketika mata mereka bertemu, gadis itu terlihat lebih kaget dari dirinya. Layaknya tersambar petir di siang bolong, Yiran tersadar kalau yang ia lihat benar-benar Raina. Dia duduk di sana, masih menatapnya dengan tatapan merana. Mati-matian berusaha, Yiran nyatanya tak sanggup untuk tidak menengok dan memandangnya.
Menatap Raina membuat Yiran tercekat, nafasnya berhenti di tenggorokan, dadanya berat menanggung perasaan yang tiba-tiba memenuhi benaknya. Rasa sakit, rasa kecewa dan rasa rindu yang ia kira sudah lama pergi meninggalkannya, naik ke permukaan dan membuncah tak terhingga.
Wanita yang sudah bertahun-tahun menghilang itu, muncul begitu saja tanpa aba-aba. Membuat keyakinan Yiran bahwa dirinya selama ini sudah baik-baik saja, runtuh seketika. Ia tersadar hatinya masih tertambat di tempat yang sama, dan cintanya masih sebesar sedia kala. Namun rasa kecewa dan amarah saat ini mendominasi otaknya. Sebelum tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu, Yiran langsung memalingkan wajah, bertingkah tak melihat siapa pun. Sementara Raina akhirnya menunduk lemas dengan mata berair.
“Liat gak? Liat gak?” Bisik Greg ke Yiran yang berdiri tepat disampingnya. “Itu yang gue bilang, itu MABA yang katanya seumuran sama kita, tapi manis banget orangnya, masih imut kayak seumuran yang lain. Itu yang berponi.” Ia terus bicara dengan penuh bersemangat sambil mengerlingkan matanya ke arah Raina, tak sadar wajah Yiran yang berubah pucat.
Saat waktu break diumumkan, Raina buru-buru berlari ke toilet. Ia masuk ke dalam bilik toilet dan langsung menelpon Tami sambil menggigit jari kukunya, duduk di kloset dengan lutut turun naik.
“Kenapa, Na?” jawab Tami dari seberang saluran.
“Tam, kenapa lu nggak bilang kalau Yiran kuliah disini?” tanya Raina dalam bisikan yang gemetar.
Tami terdiam sejenak, ternyata tiba saat Raina mengetahui rencana yang diatur sejak lama ini. “Lu nggak pernah nanya, kan?” Ia berkelit.
Raina memejamkan mata frustasi, “Terus kenapa nggak bilang duluan?”
Selama beberapa saat tak ada jawaban dari Tami, Raina sampai pada kesimpulan kalau Tami memang melakukan ini dengan sengaja. Pantas saja selama ini dia sangat berlawanan dengan Duna. Duna selalu mengarahkan Raina untuk tetap masuk ke jurusan Sastra, tapi Tami benar-benar mendukung dan semangat mendorong Raina saat Raina bilang ingin belajar bisnis untuk lebih membantu pabrik Om Heru. Dia bahkan langsung mengatur agar Raina dengan mudah daftar di kampus dan jurusannya. Ternyata ini alasannya.
“Sorry, Na,” ucap Tami kedengaran tanpa sesal, “Tapi gue rasa cepat atau lambat lu harus ngehadapin hal ini. Tiga tahun lu lari dari perasaan lu sendiri.”
“Kenapa lu bisa mikir begitu? Karena Kavi dulu cerita sama lu?” desak Raina masih tak paham Tami bertindak sejauh ini.
Tami menghela nafasnya berat, “Tiga tahun lu gak pernah sekalipun nyebut namanya, Na. Gak sekalipun! Lu juga gak pernah tertarik sama cowok lain, bahkan terang-terangan ngejauhin tiap ada cowok yang deketin lu. Kalau lu di posisi gue, apa lu gak bakal mikir yang sama?”
Mulut Raina terkatup rapat tak bisa mendebat ucapan Tami karena semuanya benar adanya. Ia menarik nafas dalam-dalam sambil membuka matanya perlahan.