ASLOVEGOESBY

Arisyifa Siregar
Chapter #29

29. Sulit Terucap

Tepat jam sebelas malam saat Raina meninggalkan kafe, jalanan di sekitar sudah sangat sepi. Ia memasang headset-nya dan melangkah lebih cepat dari biasanya. Di lingkungan yang masih terbilang asing ini, ia tak tahu bahaya apa yang bisa ditemui ketika berjalan sendirian hampir tengah malam begini. Sambil bersenandung pelan berusaha menyingkirkan ketakutannya, ia mempertahankan kecepatan langkahnya agar segera bisa sampai di kosan walaupun sesungguhnya kaki dan seluruh tubuhnya sudah kelelahan.

Saat berbelok di ujung jalan, tiba-tiba terasa seseorang menarik tangannya. Raina menjerit kaget, tubuhnya reflek berjongkok dan ia menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Matanya terpejam lekat. Selama beberapa saat jantungnya berdegup sangat kencang karena rasa takut yang meledak, tapi begitu sadar tak ada hal buruk yang terjadi pada dirinya, Raina segera membuka mata, berdiri dan berbalik badan.

Tercekat, Raina berdiri mematung saat mendapati Yiran ada di hadapannya. Bibirnya mengatup kelu, tak bisa mengucapkan sapaan atau hal lainnya yang seharusnya diucapkan di saat-saat canggung seperti ini. Tenggelam dalam tatapan dingin Yiran. Mata Raina berkedip-kedip seraya giginya mengatup rapat. Otaknya mendadak terasa konslet karena tak bisa berpikir sama sekali. Ia menelan ludah dan dadanya naik turun dengan nafas berat.

“Aku nggak bisa bilang, Halo,” suara Yiran terdengar untuk pertama kalinya di telinga Raina setelah tiga tahun. Mata Raina seketika basah, bibirnya gemetar.

“Nggak bisa bilang, apa kabar.” Yiran mendenguskan tawa sinis. “Aku nggak nemuin kata-kata yang tepat buat ngutarain pikiran ini,” Lanjut Yiran, “Aku udah  pikirin semuanya, tapi aku tetep gak nemuin jawabannya, aku tetep nggak ngerti.”

Air mata menetes di pipi Raina, terlihat jelas kesedihan dan kemarahan yang ada dalam sorot mata Yiran. Raina paham betul bagaimana kebingungan Yiran, ia mengerti bagaimana Yiran pasti kesulitan memulai perbincangan dengannya, karena itu juga yang ia rasakan selama beberapa hari ini. Hingga mungkin membuatnya menjadi orang paling kurang ajar yang Yiran temui. Pergi begitu saja, muncul begitu saja, tanpa ada penjelasan apa-apa.

“Maaf,” ucap Raina lemah, tak menemukan kata-kata lain yang tepat.

Yiran melangkah mendekat, “Kenapa muncul lagi? Kenapa muncul begitu aja padahal hilang tiga tahun nggak ada kabar?” Ia mencengkram lengan Raina.

Raina meringis menahan sakit di lengannya, tangisnya meledak. “Maaf,” ucapnya sambil terisak.

“Kenapa kamu minta maaf?” balas Yiran, “Dari semuanya, apa yang tepatnya kamu minta aku buat maafin?”

Raina menggeleng, “Jangan, jangan maafin aku. Walaupun aku minta maaf ribuan kali, jangan maafin aku.”

Alis Yiran bertaut, kelopak matanya terkulai, bibirnya gemetar. Melihat tangisan Raina, ia tak sanggup bertahan. Ia pun merengkuh tubuh Raina dan mendekapnya erat-erat. Tangis Raina tertumpah di dadanya. Sesuai dugaannya, melihat Raina kesakitan, hatinya jauh lebih sakit. Yiran menyesali perbuatannya dan mengelus-elus kepala Raina, “Maaf,” kini dia yang mengucapkan. “Udah berhenti nangisnya, maaf aku kasar.”

Mendengar ucapan Yiran yang malah meminta maaf padanya setelah apa yang telah ia lakukan, Raina semakin terisak. Tangannya yang sebelumnya terdiam di udara di angkat perlahan melingkar di pinggang Yiran, memeluk pria yang dirindukannya mati-matian selama tiga tahun terakhir ini. Air matanya tak bisa berhenti, mulutnya tak bisa dibuka untuk mengucapkan kata-kata yang ingin diucapkan. Ia hanya terus memeluk Yiran. Tapi kemudian Raina merasakan keanehan dengan tubuh Yiran dipelukannya. Pelukan tangan Yiran melemah, tubuhnya kehilangan tenaga. Yiran terkulai, merosot berlutut di aspal. Raina berusaha menahan tapi tubuhnya tak cukup kuat.

“Yiran! Yiran!” Pekiknya sambil memegangi lengan Yiran. Diawasinya lekat-lekat, ia baru sadar wajah Yiran kelihatan sangat pucat.

Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Raina mengaitkan tangannya di lengan Yiran dan berusaha memapahnya. Tak ada pilihan lain selain membawanya masuk ke dalam kosan. Tertatih-tatih membawa tubuh besar Yiran masuk ke dalam kamar, perlahan Raina merebahkannya di sofa dan mata Yiran langsung terpejam. Raina berlutut di lantai, memperhatikan dengan seksama wajah Yiran, menimbang-nimbang apakah Yiran sedang tidur atau pingsan.

Punggung tangannya ditempelkan ke dahi Yiran dan ia merasakan suhu yang cukup lebih panas daripada seharusnya. Bergegas mengambil air hangat dan handuk, Raina lalu mengangkat kepala Yiran perlahan sambil menyelipkan bantal di bawahnya. Duduk di lantai lalu kemudian mengompres dahi Yiran. Air mata kembali mengalir di wajahnya, ia membenci dirinya sendiri. Mulai menyesali keputusannya untuk masuk di kampus yang sama dengan Yiran. Kalau tidak bertemu dengannya, mungkin Yiran akan baik-baik saja, seharusnya ia pergi selamanya, seharusnya ia tak pernah muncul di hadapannya.


Dua jam Yiran tertidur, sekitar jam satu malam saat Raina sedang menguap dan menahan kantuk, Yiran terbangun. Matanya langsung menatap ke Raina yang duduk di lantai. Merasa seperti sedang dipandang, Raina menengok ke Yiran, buru-buru menempelkan punggung tangannya lagi di dahi Yiran dan bersyukur saat mendapati panas tubuhnya sudah turun.

Saat Raina menarik tangannya, Yiran menahan dan menggenggamnya. Ia menatap lekat mata Raina “Kamu gak tau kalau dulu aku bener-bener cinta sama kamu dan aku bener-bener senang kita bisa jadian? Kenapa kamu ngilang tanpa jejak?” tanya Yiran masih sambil berbaring.

Raina menggigit bibirnya seraya mengangguk. “Aku tau,” jawabnya jujur. “Maaf,” sesalnya.

Lihat selengkapnya