Sore menjelang malam kafe selalu ramai pengunjung. Menghasilkan tumpukan piring dan gelas yang tak ada habisnya di dalam bak cuci piring. Vino melirik ke Raina yang terdengar menghela nafas entah untuk keberapa kalinya, dia membasuh piring sambil melamun. Cowok delapan belas tahun yang tak lain adalah keponakan Rian itu menggeser tubuhnya mendekat, masih sambil mengusapkan spons sabun ke piring yang dipegang, ia memberanikan diri untuk buka suara. “Kak, Raina!” panggilnya pelan. “Lagi ada masalah? Cerita aja!”
Menengok ragu, Raina seketika menimbang-nimbang haruskah ia meminta pendapat Vino juga. Dia sudah ceritakan tentang kegundahannya ini ke Tami dan Kavi. Tentang bagaimana selama ini ia kesulitan untuk mengetahui bagaimana perasaan Yiran sebenarnya. Tami bilang dia harus banyak usaha, anak itu malah mengumpamakan dirinya sendiri dengan Kavi, malah bercerita bagaimana setahun lalu dia berusaha mati-matian terus berkeliaran di kampus Kavi untuk dapat perhatiannya. Jawaban Tami, jelas bukan yang Raina cari.
Kavi, beda lagi, dia menyarankan Raina untuk langsung menanyakan saja ke Yiran, bagaimana perasaan yang ada di hati Yiran tanpa perlu basa basi mengawasinya dalam diam seperti yang ia lakukan selama ini. Mengingat Yiran saja tak menggubris sapaannya saran Kavi ini lebih mudah didengar ketimbang dikerjakan. Saran dari pasangan itu tidak membantu mengurangi kegalauannya.
Melirik lagi ke Vino yang masih menunggunya untuk membuka mulut. Raina berpikir tak ada salahnya kalau minta pendapat dari orang lain yang tak begitu tahu dengan riwayat percintaannya dengan Yiran. Terlebih Vino juga laki-laki, barangkali dia bisa dapat pandangan lain dari seorang laki-laki terkait masalahnya ini. Raina pun akhirnya menceritakan secara singkat kesulitan yang sedang ia alami. Mendengarkan tanpa menyela, Vino berpikir keras sebelum memberikan saran yang Raina minta darinya.
“Hmmm..” Vino menatap piring di tangannya, “Mau jawab jujur dari point of view gue, kak?”
Raina mengangguk-angguk, menunggu dengan antusias respon dari Vino setelah mendengar ceritanya barusan.
“Menurut gue, kalau denger karakternya dia dari cerita Kak Raina, menurut gue aja sih nih ya,” Vino agak sungkan menyampaikan isi pikirannya, “Kayaknya mending dijauhin dulu deh, Kak.”
Raina terhenyak, “Kenapa?” tanyanya putus asa.
“Soalnya gini,” Vino meletakkan piring yang dipegangnya ke dalam bak cuci dan berdiri menyamping. “Kak Raina udah ngilang tiga tahun, kan? Terus tiba-tiba muncul tanpa berusaha jelasin ke dia duluan. Akhirnya dia yang nanya duluan, ya kan?”
Raina mengangguk-angguk, tangannya mematikan keran air. “Terus?”
“Terus,” lanjut Vino, “Dia bilang dia masih belum bisa maafin, dia juga jaga jarak kan? Nah menurut gue Kak, dia masih perlu waktu buat berpikir sih. Mendingan Kak Raina jaga jarak aja dulu, toh kalau emang dia udah mutusin buat maafin Kak Raina, dia bakal nyamperin duluan gak sih? Sama kaya dia minta jawaban ke Kak Raina kemarin.”
Omongan Vino masuk akal, selama ini ia tak terpikirkan sama sekali. Besar kemungkinan Yiran memang butuh waktu untuk memutuskan harus memaafkannya atau tidak. “Terus,” Raina terpikirkan segala kondisi. “Kalau semisalnya gue udah jaga jarak, dia ternyata gak nyamperin gue duluan?”
Mulut Vino mengatup dan bibirnya membuat garis lurus, “Hmmm..” pikirnya lagi, “Kalau gitu Kak Raina harus ikhlasin. Karena pasti nggak gampang kak maafin orang yang tiga tahun ninggalin tanpa kabar.” Ucap Vino jujur.
Raina menghela nafas dalam-dalam, ia kembali menyalakan keran air dan mencuci piring. “Thanks ya, Vin! Gue jadi dapet pencerahan.” Katanya sambil memaksakan senyum. Benaknya penuh kekhawatiran, tapi saran Vino ini memang sepertinya yang selama ini ia cari.
Dia sadar dia harus tahu diri, dia sudah menyakiti Yiran, wajar kalau Yiran menutup hati untuknya. Makin ia berpikir makin ia percaya tak ada alasan kuat untuk Yiran masih menyimpan hati padanya. Mereka baru kenal beberapa bulan, baru jadian satu hari sebelum akhirnya berpisah tiga tahun, dan kini di sisi Yiran banyak cewek lain yang nyatanya lebih cantik dan pintar daripada dirinya.
Ia terlalu berharap muluk dengan menginginkan bisa dekat dengan Yiran lagi, padahal Yiran saja belum tentu bisa benar-benar memaafkannya. Menghela nafas sambil mengangguk, seteguh tangannya mencuci piring hingga bersih, seteguh itu juga ia berniat untuk mulai menjaga jarak dengan Yiran. Ia tak mau semakin menjadi cewek yang kurang ajar dan tak tahu diri.
***
Malam sudah mulai pekat saat Yiran turun dari mobilnya sambil membaca chat di grup. Greg dan Evan sedang ribut adu populer di mata mahasiswa baru. Melangkah memasuki rumah sambil menggelengkan kepala. Yiran menggulir percakapan tak penting di grup senat mahasiswa tanpa membacanya. Matanya berhenti di deretan foto yang dikirim dari ponsel Greg. Ia terdiam di ambang pintu.
“Eh, udah pulang, Ran?” sapa Lidia, mengamati Yiran yang tak menyahut. Anaknya itu masih memandangi ponsel tanpa bergerak seinci pun.
Yiran membuka salah satu foto dari Greg dan memperbesarnya di salah satu sisi. Foto yang diambil dari belakang barisan mahasiswa baru itu, mengabadikan momen Raina yang tengah mencuri pandang ke arahnya. Bibir Yiran otomatis melengkungkan senyum. Beberapa saat kemudian ia mengangkat pandangannya dan baru sadar dari tadi ibunya memperhatikan.
“Eh, Sore Ma!” sapanya ramah lalu melangkah masuk ke kamar.
Seperti tersengat listrik, mata Lidia membelalak lebar dan ia mematung. Barusan untuk pertama kalinya ia melihat Yiran tersenyum. Bukan senyum sinis atau menyeringai, benar-benar tersenyum seperti orang sedang bahagia. Ditambah, Yiran tadi mengucapkan selamat sore. Anaknya itu tidak pernah menyapanya duluan selama ini, di sapa pagi, siang, sore, malam pun paling cuma mendehem. Lidia menepuk-nepuk pipinya pelan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia tak sedang bermimpi. Ia memutar tubuhnya sembilan puluh derajat dan memandang ke arah pintu kamar Yiran, berpikir keras tentang hal baik apa yang sedang dialami anak itu sampai bisa tersenyum dan menyapanya seperti tadi.
***