“AAAAAAK!” Tami berteriak di telepon, suaranya yang keluar dari speaker ponsel menggema di kamar Raina.
Raina tertawa geli. “Gue gak mikir itu kerjaan lu sama sekali, Tam!” ucapnya sambil menata rambut.
Tami terkekeh, bangga pada dirinya sendiri. Ternyata siasatnya mendorong percepatan hubungan Raina dan Yiran sukses. Dia benar-benar puas dengan hasil yang diceritakan Raina barusan, seakan menebus dosa ke Yiran tiga tahun ke belakang, sekarang hatinya jauh lebih ringan. “Yaudah lu siap-siap sana! Nanti di kampus kita lanjutin ceritanya, Kavi dah jemput nih!” ungkap Tami sambil bergegas.
“Eh kok kalian ke kampus lagi hari ini?” Raina mengoleskan lip cream pink di bibirnya.
“Iya ambil surat pengantar magang, dah buruan gue tunggu di kampus!” desak Tami tak sabar mendengar ceritanya secara langsung.
Raina tertawa geli mendengar reaksi Tami. “Oke, bye!” tutupnya sambil menggunakan maskara.
Tepat saat dia mematikan panggilan, notifikasi chat muncul di ponselnya. Raina membaca chat yang ternyata dari Yiran dan isinya, Aku udah di bawah. Terhentak berdiri. Raina benar-benar kaget karena tak berekspektasi apapun sejak bangun tidur tadi, takut kalau ternyata ia salah mengira lagi kalau Yiran sudah memaafkannya. Takut terulang lagi kejadian beberapa minggu lalu. Sama sekali tak menyangka bahwa pagi-pagi begini Yiran datang lagi dan menjemputnya ke kampus. Raina buru-buru mengambil cardigan pink untuk menutupi dress putih tanpa lengan yang ia kenakan. Berlarian mengambil tasnya, memakai sepatu sambil keluar kamar dan mengunci pintu.
Yiran benar-benar ada di depan kosannya. Berdiri di depan mobil mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung dipadukan jeans coklat muda dan topi baseball hitam. Raina tersenyum lebar, berlari-lari kecil menyambangi Yiran yang langsung membukakan pintu mobil untuknya.
Ternyata Yiran tetaplah Yiran, tak ada yang berubah dari dirinya. Dari masuk ke mobil, menggunakan safety belt, menyalakan mesin sampai mengendarainya di jalan raya, mulutnya terkatup rapat, tak bicara sama sekali. Menyadari kalau terus diam mereka akan segera sampai ke kampus tanpa ngobrol sama sekali, Raina langsung menanyakan hal yang terpikir di otaknya. “Berapa lama kalau berangkat ke kampus?” ucapnya, dalam hati langsung sebal dengan dirinya sendiri. Pertanyaannya barusan terdengar kaku dan canggung.
“Se-jam.” Sahut Yiran singkat.
“Ha?” seru Raina heran. Langsung mengingat-ingat posisi rumah Yiran yang cukup dekat dengan rumahnya dulu. Paling tidak perlu dua jam untuk sampai ke kampus di jam sibuk begini.
Yiran melirik Raina yang terlihat kebingungan, ia bisa menebak isi pikiran Raina. “Aku pindah ke rumah Mama, dah tiga tahun.” Terangnya sambil mengendarai mobil masuk ke lapangan parkir kampus.
Raina ingin bertanya lebih banyak tentang maksud Yiran pindah rumah, tapi belum sempat mulutnya terbuka mobil sudah terparkir dan Yiran bergerak turun dari mobil. Raina tak punya pilihan lain, selain mengurungkan niatnya dan langsung ikut turun.
Langkah Yiran terlalu cepat untuk diimbangi Raina yang hari ini menggunakan sepatu wedges lima sentimeter. Dahi Raina berkerut, tingkah Yiran benar-benar tak bisa diprediksi. Dia menjemput dan membukakan pintu mobil, tapi dia turun duluan dari mobil dan sekarang meninggalkan Raina di belakang dengan langkah cepatnya.