Restoran, mall, bioskop, semua yang terlintas di kepala Raina terbukti salah saat mereka berhenti di depan sebuah rumah. Yiran turun dari mobil duluan dan membukakan pintu untuknya. Ragu-ragu sambil berpikir keras sedang ada dimana mereka sebenarnya, Raina turun sambil menggenggam tangan Yiran.
Ketika Yiran menggandengnya ke depan pintu dan langsung mendorong pintunya tanpa memencet bel, Raina baru terpikir dimana mereka berada. Ia buru-buru menghentak tangan Yiran dan bergeming, tapi usahanya terlambat karena pintu sudah terbuka, dan dari tempat mereka berdiri, terlihat seorang wanita paruh baya sedang duduk di sofa. Nafas Raina tertahan di tenggorokan, wajahnya menegang, dia belum tahu siapa wanita itu, tapi jelas dia gugup setengah mati.
Di tempatnya duduk, Lidia mendelik kaget. Mulutnya setengah terbuka, matanya berkedip cepat, tak percaya kalau ia sedang melihat Yiran berdiri di ambang pintu sambil menggenggam tangan seorang gadis. Pelan-pelan dia bangkit dari sofa, berjalan dengan bahu dan menyambangi mereka. Dilihatnya gadis itu menatap takut sambil tersenyum gugup.
“H-halo!” sapa Lidia canggung.
Raina menyahut, “Halo, Tante,” lebih canggung, berusaha melepaskan genggaman tangan Yiran tapi Yiran malah menggenggam lebih erat.
“Kenalin, Ma. Pacar aku, Raina.” Ucap Yiran santai.
Lidia tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya, tapi saat melihat Raina jauh lebih panik darinya, buru-buru ia menyunggingkan senyum ramah. “Hai, Raina! Saya Lidia, Mama Yiran.” Ia mengulurkan tangan. Tanpa menunggu Raina langsung menyalami tangan Lidia.
Mengamati ekspresi wajah, gelagat dan telapak tangannya yang dingin, Lidia tahu betapa gugupnya anak ini. “Ayo duduk dulu, Tante buatkan minum,” tutur Lidia lalu meninggalkan ruang tamu.
Raina mengangguk dan memasuki ruang tamu. Saat Lidia sudah tak terlihat, Raina sudah duduk di ujung sofa buru-buru meremas tangan Yiran yang masih berdiri di hadapannya. “Kenapa gak dulu bilang sih!” protesnya.
Yiran tersenyum, bukannya ikut duduk dia malah melepaskan genggaman tangannya dan memutar badan berbalik arah. Sadar akan ditinggal sendiri, Raina buru-buru menarik tangan Yiran. “Mau kemana ih!” rengeknya.
“Mau ganti baju,” sahut Yiran sambil melirik ke arah Lidia yang terlihat kembali ke ruang tamu.
Raina sadar kalau Mama Yiran sudah kembali, ia buru-buru melepaskan tangan Yiran dan duduk tegang. Yiran senyum tak kentara, bergerak meninggalkan Raina dan berpapasan dengan Lidia yang memasuki ruang tamu sambil membawa teh dan beberapa toples cemilan.
“Silahkan dimakan, Raina kan ya?” Lidia duduk di sofa seberang.
Mengangguk sopan, “Iya Tante, Raina.” Jawabnya kikuk sambil mengambil cangkir teh, menyesap isinya sedikit lalu menaruhnya lagi di atas meja. Kembali duduk tegang.
Lidia melongok ke lorong, saat yakin Yiran belum kembali, dia bergegas pindah posisi dan duduk di samping Raina. Raina mengkeret panik, wajah tegangnya menatap Lidia yang duduk miring menghadapnya. “Kamu bener pacar Yiran?” tanya Lidia dengan suara pelan serupa bisikan.
“I-iya, Tante.” Raina nyengir kaku.
“Kok bisa?” tanya Lidia heran. “Maaf, maksud Tante, sejak kapan, gimana bisa pacaran?” koreksinya buru-buru karena takut Raina tersinggung dengan pertanyaannya.
Lagi-lagi tersenyum kaku, Raina kebingungan menjawab. Tidak mungkin dia menjawab apa adanya, kalau dia pacaran dengan Yiran tiga tahun lalu, kabur meninggalkannya, dan sekarang muncul lagi. Ibu manapun akan kesal kalau tahu anaknya pacaran dengan cewek menyebalkan seperti dia. “Dulu satu SMA, Tante,” jelas Raina. “Kebetulan saya baru mulai kuliah di kampus Yiran, jadi ketemu lagi.”
“Aaaaaah,” Lidia mengangguk paham kemudian memegang tangan Raina, “Makasih ya, dah nemenin Yiran.”
Raina tertegun, tak menyangka akan mendengar ucapan ini dari ibu kandung Yiran yang baru pertama kali ia temui. “Nggak kok, Tante.” Tukas Raina. “Yiran banyak yang suka dan nemenin.” Tambahnya meyakinkan.
“Tapi kan gak ada yang mau dia deketin, Tante hampir takut dia gak pernah punya temen apalagi pacar loh!” curhat Lidia, menggenggam tangan Raina dengan kedua tangannya. “Pokoknya Tante seneng banget! Kamu harus sering-sering ke sini ya!”
Terdengar langkah kaki dari arah lorong, Lidia celingukan lalu buru-buru pindah lagi ke sofa seberang. Melemparkan senyum lebar saat Yiran memasuki ruang tamu. “Makan malam disini, kan? Mama masakin.” Bujuk Lidia.