Matahari ada di posisi cukup tinggi ketika Raina dan Yiran pamit balik ke Jakarta. Di depan rumah, Wiwid dan Heru memberikan beberapa bekal makanan yang langsung dimasukkan ke dalam mobil oleh Yiran.
“Nggak usah pulang sering-sering! Yang penting terus ngabarin aja, di telpon juga nggak apa-apa!” tegur Wiwid ke Raina. “Nanti Yiran nyariin lagi tuh!” candanya.
Yiran tersenyum malu sambil menutup bagasi mobil.
“Iya gampang, Tante!” sahut Raina, memeluk Wiwid lalu beralih menyalami Heru.
“Baik-baik disana ya, jaga kesehatan jangan capek-capek!” Heru memegang bahu Raina, tiba-tiba suaranya berubah menjadi bisikan, “Jangan sampe lepas, Yiran nya, dia anak baik!” katanya di samping telinga Raina.
Tertawa sungkan, Raina mengangguk-angguk lalu undur diri. Yiran bergantian menyalami Wiwid dan Heru lalu masuk ke dalam mobil. Raina melambaikan tangan ke om dan tantenya seraya mobil menjauhi rumah, kemudian menutup jendela mobil dan menyandarkan punggungnya. Menengok ke Yiran yang menyetir sambil diam seperti biasa, “Mmmm… “ gumamnya, “Tadi pagi, ngobrolin apa sama Om Heru?” ia tak bisa lagi menahan rasa penasaran yang mengganggu sejak selama beberapa jam lalu.
Mata Yiran berkelebat, “Yang mana?” tanyanya pura-pura tidak tahu, belagak fokus menyetir.
Raina memiringkan tubuhnya menghadap Yiran, “Yang tadi pagi-pagi sebelum sarapan!” sahutnya spesifik.
“Mmmmm..” gumam Yiran tak mau menjawab.
Dahi Raina langsung berkerut, belum sempat Raina bertanya lagi, notifikasi panggilan masuk dari Ruth tampil di layar mobil Yiran. Langsung diangkat dengan mode pengeras suara.
“Ran! Temen gue ada nawarin jadi model buat brand bajunya dia, lu mau gak?” Tanya Ruth.
“Nggak!” sahut Yiran singkat.
“Kenapa?” Ruth terdengar heran.
“Dah males!” Jawab Yiran.
“Lu lagi nyetir ya?” tebak Ruth.
“Em.” Yiran memutar gagang kemudi. “Sama Raina.” tambahnya, mata Raina melebar tak paham kenapa Yiran harus menyebut namanya dan membuatnya canggung.
“Oh, hai, Raina!” sapa Ruth. “Sorry ganggu ya!”