Raina membuka matanya setelah tidur dua belas jam tanpa terjaga sama sekali. Perlahan ia mengangkat tubuhnya bangun dan bersandar di tempat tidur, meraih ponselnya yang ada di bawah bantal dan membuka kunci layarnya lalu mendapati begitu banyak notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab.
Membuka salah satu pesan yang bukan dari Yiran, Raina menarik kedua kakinya hingga lutut dan menempel ke dada, siku tangan kirinya di lutut kirinya sementara telapak tangannya menyisir rambut dengan jari. Tangan kanannya sibuk membaca pesan dari Yunita, pegawai pabrik Om Heru yang dulu selalu menjadi partner terdekatnya.
Baru beberapa hari berjanji. Raina mengira ia sudah bisa terbuka sepenuhnya, dia kira dia sudah bisa menceritakan semua masalahnya pada Yiran, tapi nyatanya ia menyimpan satu hal yang justru selama dua hari terakhir benar-benar mengganggu pikirannya. Dan sampai saat ini belum bisa menyampaikannya ke Yiran.
Sepulang dari makan malam romantis mereka, Raina pertama kalinya mendapat pesan dari Yunita. Gadis itu tak tahu kalau Raina pulang ke Jakarta lebih cepat dari yang direncanakan, padahal ia sudah berniat menyampaikan sesuatu pada Raina di hari terakhirnya di Bandung. Tapi karena ternyata Raina sudah pulang mau tak mau dia menceritakan hal itu lewat pesan.
Sebenarnya pabrik Om Heru sedang dalam masa krisis yang bisa saja bangkrut dalam beberapa waktu dekat. Raina tahu masalahnya adalah kondisi Om Heru yang sudah sering sakit karena masalah darah tinggi dan diabetesnya. Beberapa keputusan dan kebijakan yang diambil seringkali jadi impulsif dan tak memikirkan mitigasi dari masalah yang akan muncul lagi.
Lewat pesan Yunita, Raina tahu kalau ada pegawai yang tak beres di pabrik dan menjadi sumber masalah lain, hal yang sebenarnya juga sudah menjadi kecurigaannya saat di pabrik seminggu kemarin. Tapi masalahnya lagi, kalau dia langsung dipecat, posisi kritis itu harus segera diisi, dan setelah dihitung-hitung tidak ada budget tersisa untuk merekrut orang baru di posisi itu. Orang ini orang lama yang memang gajinya tak seberapa dibanding jabatan manajernya, mungkin karena itu juga dia melakukan korupsi kecil-kecilan terhadap pengeluaran yang mempengaruhi kualitas produksi.
Satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan oleh Raina saat ini hanya kembali kerja di pabrik, ia bisa membantu Om Heru langsung, menekan biaya operasional dengan tak perlu merekrut orang lagi, bisa melakukan audit menyeluruh dan mencari jalan keluar secepatnya. Tapi dia ada di Jakarta, dan jadwal kuliahnya padat.
Sambil mengerang pusing, Raina membuka pesan dari Yiran, pacarnya ini tak bosan-bosannya mengucapkan selamat pagi, siang, sore dan malam. Tak mengeluh sama sekali Raina tak membalas pesannya karena tampaknya dia tahu Raina sedang kelelahan dan butuh istirahat cukup lama setelah hampir seminggu penuh kerja keras di pabrik. Membaca pesan Yiran, ketegangan di wajah Raina sedikit berkurang, kata-kata manis darinya meringankan sakit di kepalanya.
Ia pun beranjak dari kasur dan bergegas ke kampus. Selain untuk kuliah ia juga sudah janjian dengan Tami yang hari ini kebetulan ke kampus untuk mengurus berkas-berkas magangnya. Raina perlu bicara dan meminta pendapatnya.
***
Sesuai prediksi, kalimat pertama yang diucap Tami setelah mendengar keseluruhan ceritanya sambil duduk di bangku taman ini, “Lu udah cerita sama Yiran?” dan saat Raina kini menggeleng, ia menambahkan, “Kenapa gak coba tanya pendapat dia?”
Raina menghela nafas, “Bukannya gue gak bersyukur Yiran sayang sama segitunya ke gue,”
“Pamer?” Sela Tami.
“Enggak!” tukas Raina, “Tapi Yiran lumayan posesif kalo masalah pisah-pisah kaya gini, ya gue juga nggak bisa salahin dia sih karena gue juga dia jadi begitu. Makanya gue belum bisa cerita sama dia, karena gue takut, dia malah bisa bikin keputusan gue bias. Ngerti kan?” Raina menengok ke Tami yang ekspresinya jelas tak setuju dengan ucapannya.
“Jadi lu nggak mau ngasih tau Yiran karena ada potensi lu berhenti kuliah dan balik ke Bandung? Lu takut kalau Yiran gak ngasih, lu jadi nelantarin pabrik Om Heru?” Tami menarik kesimpulan tajam.
“Nggak berhenti juga sih,” Raina mengoreksi sedikit, “Mungkin ambil cuti. Satu semester mungkin? Kalau pabriknya sudah stabil gue kuliah lagi.”
Kali ini Tami yang menghela nafas sambil menyilangkan kakinya, “Jadi sekarang lu mau gimana?”
“Gue mau ke akademik sih, mau coba tanya-tanya soal cuti kuliah,” sahut Raina lemas.