ASLOVEGOESBY

Arisyifa Siregar
Chapter #42

42. I Love You

Berusaha mengalihkan pikiran kusutnya dengan menyibukkan diri, nyatanya Raina malah gagal fokus pada pekerjaannya. Berkali-kali dia melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang memancing perhatian pelanggan, seperti meletakkan gelas terlalu kencang di atas meja, telat mengantar pesanan, lupa membersihkan meja yang diminta pelanggan, dan hal-hal lainnya yang membuat Rian sampai bergeleng dan memanggilnya ke dapur.

“Lu kenapa?” tanya Rian memastikan nada suaranya cukup rendah agar tak menekan Raina. “Ada masalah di Bandung?” tebaknya, karena sepulang dari Bandung Raina memang terlihat linglung.

Belum sempat Raina menjawab, Radit muncul dari sela tirai pembatas dapur dan tempat kasir. “Kak!” panggilnya melihat ke Raina, “Sorry, ada yang nyari.”

Raina melemparkan pandangan ke Rian, saat Rian menggedikkan dagunya mengisyaratkan agar Raina pergi lihat dulu siapa yang mencarinya. Raina mengangguk pamit dan langsung menghilang dibalik tirai.

Langkahnya terhentak, tak menyangka kalau yang berdiri di depan meja kasir sambil mengangkat tangan dan menyapa adalah Ruth. Tak banyak bertanya, dia langsung mengajak Ruth ke salah satu meja yang kosong. “Mau minum apa?”

“Kopi susu aja,” sahut Ruth sambil duduk di hadapannya.

Raina langsung memberitahu Radit untuk membuatkan minuman pesanan Ruth, dan kembali menatap Ruth untuk mendengarkan maksud kedatangannya ke kafe yang pastinya bukan untuk minum kopi.

“Pertama-tama, sorry gue tiba-tiba datang ke sini nyariin lu, gue gak punya nomor telpon lu soalnya,” buka Ruth. “terus kedua, mungkin agak basa-basi tapi gue mau minta maaf kalo dulu mungkin gue bikin lu gak nyaman.”

“Nggak, kok!” sanggah Raina.

Ruth bergeleng, “Or mungkin gue kali ya yang awal-awal agak gak nyaman deket lu.” Ia tertawa canggung, “Ya mau gimana soalnya sejak mulai kuliah, orang-orang gak ada berentinya nganggep kalo gue itu pasangannya Yiran, no offense yah, tapi gue gak tau kenapa emang itu anak maunya ngobrol sama cewek tu gue doang, jujur gue si gak apa-apa tapi penilaian orang-orang jadi berubah ke gue, seakan-akan gue sepaket sama dia. Makanya pas lu muncul gue agak lumayan bingung kira-kira apa yang bakal orang bilang tentang gue.”

Raina mengangguk mengerti, meskipun tak sepenuhnya paham dia bisa menempatkan dirinya di point of view Ruth, dan sejujurnya cukup terkesan dengan keberanian Ruth mengatakan semua hal itu secara jujur dan santai.

“Oke,” Ruth tertawa canggung lagi, “Kayaknya udah kebanyakan basa-basi gue, inti kedatangan gue kesini adalah gue mau minta tolong lu buat bujuk Yiran.”

Alis Raina berkedut, “Bujuk buat apa?”

Ruth mengepalkan kedua tangannya di atas meja, “Gue gak tau kenapa, itu anak tiba-tiba aja ngajuin resign di tempat magang yang sekarang. Padahal gue sama dia itu sama-sama di promote buat jadi karyawan disana sampai lulus. Gak munafik, ini mungkin lebih ke keperluan gue sendiri karena itu perusahaan konsultan gede inceran gue selama ini, tapi menurut gue bener-bener sayang juga kalau dia gak mau nerusin di situ, ditambah, dia gak mau bilang alasannya apa.” Ruth berhenti, menunggu tanggapan Raina.

Berkedip cepat, Raina sendiri bingung karena tak tahu masalah apa yang sebenarnya sedang terjadi, belum genap dua hari dia tak berkomunikasi dengan Yiran, sudah ada berita mencengangkan seperti ini. “Lu udah tanya dia alasannya kenapa?” tanya Raina kemudian.

Ruth bergeleng, sambil memandang ke segelas kopi susu yang baru Radit taruh di hadapannya. “Dia gak mau bilang, gue dah tanya berkali-kali, gue dah bujuk juga ngeyakinin dia kalau kesempatan ini sayang buat dilewatin, tapi dia tetep kekeuh.”

Menghela nafas dalam, Raina mulai menduga-duga alasan Yiran melakukannya tapi tak yakin dengan kemungkinan yang muncul di dalam benaknya. “Nanti coba gue tanya ke dia,” terangnya. “Tapi gue gak janji apa-apa ya,” tambah Raina.

Mengangguk paham, Ruth meraih kopi susunya dan beranjak bangun. “Sekali lagi sorry ya gue jadi ganggu, dan thanks sebelumnya.”

Setelah Raina mengangguk, Ruth berjalan ke arah kasir dan berniat membayar minumannya tapi karena Radit sudah diisyaratkan untuk tak menerima pembayarannya oleh Raina, Ruth pun menengok ke arah Raina yang masih duduk di tempat, mengucapkan terima kasih sekali lagi dan bergerak meninggalkan kafe.

Masih di tempat duduknya, Raina termenung, ternyata begini rasanya saat mendapatkan informasi tentang Yiran dari orang lain. Ternyata begini rasanya bertanya-tanya masalah apa yang sedang dialami Yiran dan kenapa dia sampai membuat keputusan seperti itu. Seketika Raina merasa bersalah dan menyesalkan perbuatannya selama ini. Dan yang jelas, di luar semua masalah dan pikirannya yang berantakan, sesungguhnya ia merindukan Yiran.

***

Sudah hampir dua hari menahan untuk tidak menghubungi Raina terlebih dulu, Yiran tak menunggu lama untuk menjawab panggilan begitu nama Raina muncul di layar ponselnya. Sambil masih mengemudikan mobil ia menyalakan pengeras suara, “Halo?” ucapnya duluan, takut Raina hanya diam kalau dia tak segera menyapa.

“Kamu dimana?” tanya Raina dengan nada suara yang terdengar dingin.

Lihat selengkapnya