ASLOVEGOESBY

Arisyifa Siregar
Chapter #44

44. Membuka Hati

Dosen mata kuliah Pengantar Bisnis di kelas Raina ini selalu berhasil membuat para mahasiswanya merasakan kantuk yang tak tertahan. Kepala Dina bahkan hampir menghantam meja kalau saja Raina tak buru-buru mengulurkan tangannya ke wajah Dina sampai akhirnya gadis itu sadar dan terbangun.

Meski begitu Raina tak merasakan kantuk sama sekali, ia justru ingin kelas ini buru-buru selesai karena begitu penasaran apa yang sedang dilakukan Yiran dan yang lainnya. Ini pertama kalinya dalam hidupnya, masalah miliknya malah didiskusikan untuk diselesaikan orang lain. Walau bisa dibilang Yiran, Gita, Tami dan Kavi bukan orang lain untuknya. Tetap saja Raina masih belum terbiasa dengan perasaan yang seakan membuatnya lepas tangan ini.

Tadi pagi saat mengajak Gita memasuki kampus, Raina melihat Tami yang hari ini diantar oleh Kavi. Sukses membuat Gita yang tak tahu apapun tentang hubungan Tami dan Kavi tercengang. Akhirnya Tami dan Kavi yang seakan punya hutang penjelasan ke Gita pun mengajaknya ngobrol di kafe dan menjelaskan tentang proses hubungan mereka.

Setelah mendengar penjelasan Tami dan Kavi, dan melihat hubungan Raina dan Yiran yang teramat baik, rasa kesal Gita seketika sirna. Ia pun mengucapkan selamat untuk Tami dan Kavi kemudian mulai bercerita alasan dia ikut ke kampus dengan Raina hari ini. Rencana diskusi Gita dan Yiran membuat Tami dan Kavi terdorong untuk turut serta dalam kegiatan itu. Alhasil, Gita, Tami dan Kavi langsung memanggil Yiran untuk mengobrol tentang masalah pabrik di kafe. Dan tepat disaat mereka mulai diskusi, kuliah jam pertama Raina dimulai. Sekarang Raina sama sekali tak tahu apa yang mereka diskusikan dan sampai mana diskusi itu berlangsung, yang jelas Raina sangat penasaran dan ingin segera bergabung dengan mereka.

Saat bel yang menandakan jam kuliah terakhir sudah usai, terdengar di telinga, meskipun dosen masih menyampaikan ceramahnya yang lebih mirip dengan nina bobo, Raina buru-buru merapikan bukunya ke dalam tas dan bergegas keluar kelas tanpa pamit. Dengan langkah terburu-buru ia segera melangkah keluar kampus dan bahkan naik ojek untuk pergi ke kafe yang biasanya selalu ia sambangi dengan berjalan kaki.

Sesampainya di kafe Raina melihat Yiran dan yang lainnya masih berdiskusi di bagian paling pojok kafe. Mereka terlihat serius mencoret-coret kertas dengan pulpen.

“Eh, lu udah datang, syukur deh!” seru Rian tepat saat Raina hendak menyambagi mereka.

Mengurungkan niatnya, Raina mengubah langkah kakinya dan mendatangi Rian. “Ada apa, kak?”

“Mei minta cuti setengah hari, dia sakit datang bulan. Lu liat sendiri kan lagi rame banget, tolong langsung gantiin ya, kasian dia dah pucet banget!” Rian menepuk bahu Raina dan bergegas kembali ke dapur.

“Oh,” tanggap Raina tak bersemangat, ia menyapukan pandangan ke sekeliling kafe yang memang benar sedang ramai pengunjung. Ditengoknya lagi Yiran dan yang lain, mereka benar-benar terlalu serius sampai sepertinya sama sekali tak menyadari kehadirannya. Menghela nafas berat Raina akhirnya memilih untuk segera masuk ke dapur dan memakai celemeknya. Tak tega juga membayangkan Mei sejak tadi menahan sakit sambil bekerja.


Tiba-tiba merasa hampa, Raina yang berdiri di balik meja kasir sulit memalingkan pandangannya ke arah lain. Sambil mengerjakan tugasnya, ia terus melihat betapa seru dan mendalam diskusi yang Yiran dan lainnya lakukan tanpanya. Benaknya terusik, ada hal aneh yang mengganggu pikirannya. Rian yang sedang mengisi ulang biji kopi ke dalam mesin melirik Raina yang terlihat sedang gelisah.

“Kenapa?” bisiknya mendekatkan bahunya ke bahu Raina.

Raina terkejut dan menengok, terdiam beberapa saat lalu melemparkan pandangannya lagi ke Yiran dan yang lain. “Kak, gue ngerasa aneh.”

“Aneh gimana?” Alis Yiran bertaut.

Mengedikkan bahu, “Gak tau aneh aja,” ungkap Raina. “Mereka lagi bahas masalah, masalahnya itu masalah gue, tapi gue sendiri masalahnya gak tau mereka lagi bahas apa.”

“Ha?” pekik Rian bingung. “Bentar-bentar, gimana maksudnya?” tanyanya tak paham dengan ucapan Raina yang melantur.

“Ish!” keluh Raina, kini menatap Rian, “Jadi gue yang punya masalah, tapi malah mereka yang pada pusing dan diskusiin nyari jalan keluarnya!” tekan Raina sambil menahan emosi.

Baru kali ini melihat Raina emosi, Rian hampir menyemburkan tawa tapi segera ia tahan sekuat tenaga karena takut Raina tersinggung. Ia pun berdehem.. “Lu yang minta?”

Lihat selengkapnya