Sully masih harus menjalankan tugas sebagai karyawan restoran, kala ponselnya bergetar. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu melirik ke segala arah, takut-takut Hana—karyawan senior, memergokinya seperti hari lalu.
Sully bergegas mengeluarkan ponsel setelah merasa aman. Dia hampir memekik karena si pemanggil adalah editor naskah novelnya. "Halo, Mas Redo?"
"Kamu nanti malam luang?"
"Luang!"
"Jam delapan di kantor, ya. Mau ngobrol sama descov."
Sully memekik, tidak ingat lagi bahwa seharusnya dia diam.
"Sully! Kebiasaan, deh! Kerja sambil main hp!"
Sekonyong-konyong Sully hampir menjatuhkan ponsel, berbalik menatap Hana sambil cengengesan. Gadis itu meminta maaf dengan jenaka, lalu menutup panggilan dan kembali mengelap meja hingga bersih.
Sembari menunggu waktu hingga malam, gadis itu memilih berjalan-jalan di stasiun sepulang kerja. Hari ini pelanggan terhitung banyak karena masuk akhir pekan, membuat Sully serta karyawan lain berjibaku dengan waktu tanpa jeda. Beberapa kali gadis itu bergantian mencuci piring, mengantar pesanan, membersihkan meja, dan menata struk pembayaran.
Hingga akhirnya sekarang Sully bisa duduk-duduk di sekitar taman dekat stasiun. Tempat itu berhimpitan dengan Kodim, dan Sully terkadang beruntung melihat para prajurit muda berlatih. Dia bisa sekalian cuci mata.
Namun, kala Sully hendak membuang botol plastik minumnya, dia dikejutkan dengan sebuah dompet. Gadis itu bergegas memungutnya, lalu menilik isi benda tersebut. Seketika Sully mencebik begitu membaca alamat.
"Yaelah ... ini alamat jauh bener. Ya telat nanti gue ketemu Mas Redo!" gerutunya.