Crash!!! Brak...
Tubuh lelaki memakai peci putih baju takwa dan bersarung itu terlempar jauh ke tepi jalan, tepat di depan halaman pondok pesantren. Seluruh badan sepeda motornya remuk, darah terus mengucur deras, matanya nanar menatap malaikat maut yang turun untuk menjemput.
Semua orang-orang yang melihat kejadian kecelakaan tersebut berbondong-bondong datang melihat keadaan lelaki malang itu, termasuk para santri dan guru yang mengajar saat siang hari itu berlarian ke luar kelas menuju ke arah pintu gerbang pondok pesantren yang sedang tertutup rapat.Semua guru meminta para santri untuk tetap berada di dalam pondok, salah seorang guru perempuan terkejut, matanya menggenang melihat sosok lelaki yang terlentang dengan berlumur darah segar yang tak lain adalah putra dari pemilik pondok pesantren ini.
Ia pun berlari dan mengetuk keras pintu kediaman keluarga pondok, dan tubuh yang gemetar, bibir yang terasa keluh untuk mengatakan apa yang sedang terjadi saat sang guru berhadapan dengan Bu Nyai Bahira.
Bu Nyai mengerutkan kening, ia menatap aneh wanita paruh baya di hadapannya itu lalu matanya menatap ke arah kerumunan di depan pintu gerbang yang membuatnya merasa gelisah. Tubuh sang guru masih bergetaran. Tak lama kemudian, Kyai Alim juga turut keluar rumah.
"Ada apa, Bu? Semua baik-baik saja, kan?" tanya Bu Nyai Bahira mencoba untuk bersikap tenang.
"Saat ini Mas Bilal sedang menghadapi sakaratul maut, Ning!" jawab sang guru membuat Bu Nyai dan Pak Kyai tersentak.
Tanpa berpikir panjang lagi, Bu Nyai Bahira berlari tanpa memakai alas kakinya. Pintu gerbang tengah tergembok. Bu Nyai Bahira mendesak untuk segera membuka pintu gerbang itu, namun tak ada yang bisa membuka selain Kyai Alim. Napas Mas Bilal masih di kerongkongan, tangannya mengarah ke pintu gerbang pondok. Sang ibu terus menjerit dan terus mengoyak-oyak pintu gerbang itu. Mas Bilal pun mengucap kalimat syahadat, perlahan matanya terpejam. Kyai Alim merunduk, tak ingin air matanya terlihat oleh para santrinya serta sang istri tercinta.Ribuan orang-orang berkumpul, untuk menghantar Mas Bilal ke tempat peristirahatan terakhir. Memakai pakaian dan peci putih-putih, sementara para keluarga wanita berada di rumah sambil menenangkan hati Bu Nyai Bahira.
"Mas Bilal! Mas Bilal! Peci Mas Bilal ada di Ummi nih!" teriakannya menggelegar tanpa jawaban.
Bu Nyai terus berjalan menelusuri pondok pesantren sambil memegang erat peci putih favorit Mas Bilal dengan kantong matanya yang menghitam. Ia tersuruk-suruk sampai gamisnya yang menjuntai ke tanah terinjak-injak. Semua orang yang mengamatinya ikut merasa sesak.
Di tepi jalan raya Desa Sukogaring. Berdirilah sebuah bangunan pondok pesantren yang temboknya bernuansa hijau lumut, yang terkenal dengan santri-santrinya yang sopan santun. Pondok pesantren itu bernama AT-TAQWA, yang saat ini dipimpin oleh Kyai Haji Alim Jair . Seorang pria berusia 55 tahun yang telah memiliki dua putra soleh yang bernama Bilal Harist dan Bassam Raza. Dan sang istri, bernama Bahira.
Sepuluh tahun berlalu, Kyai Alim dan istrinya menggenggam rindu, yang tak bisa terbayar oleh waktu. Air mata yang mengalir deras terasa pedas. Masa kelam di masa silam belum juga hirap meski bibir tak henti berucap, pulanglah, Nak.Kepergiannya membuat Bu Nyai Bahira kalut, wajah terus tertekuk, tak pernah ada lagi guratan senyum manis di bibir itu.