Bus umum berwarna biru itu menembus hutan sengon yang lebat nan membelah kabut tebal yang menyelimuti wajah desa Sukogaring. Akhirnya, Bassam bisa kembali menapakkan kakinya di tanah kelahirannya, indera penciumannya juga dapat menghirup aroma dendeng sapi buatan sang ibu. Keempat pemuda itu turut turun di sana. Pintu gerbang besi berwarna hijau lumut di terbuka lebar. Seolah-olah tengah menyambut kedatangan para pemuda itu. Keempat pemuda itu pun langsung merasa jika pintu gerbang pondok pesantren pun telah merestuinya.
Bassam pun berjalan menyeberangi jalan raya yang begitu banyak kendaraan umum yang berlalu lalang dengan penuh kehati-hatian. Pemuda berjaket kulit pun menyusul sambil setengah berlari. Namun lelaki di sampingnya, laki-laki yang membuat tempat duduk di bangku bus tadi semakin sesak. Ia menghentikan langkah laki-laki memakai jaket kulit itu sambil merentangkan tangan, hingga nyaris terjatuh. Sontak membuat lelaki berjaket kulit tersentak. Kedua laki-laki di sampingnya juga ikut terkejut.
"Hei, Lo udah gila yah! Lo mau mencelakakan gue?" teriak lelaki berjaket kulit sambil melotot.
"Sorry. Gue cuma nggak mau Lo mati secepat itu!" jelasnya membuat ketiga pemuda itu mengernyitkan keningnya, "Sebaiknya kita bergandengan tangan saja!"
Laki-laki jaket kulit itu tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Males banget!" ucapnya ketus lalu melangkah pergi, dan berjalan menyeberangi jalan raya. Kedua laki-laki yang masih berdiri di sana pun memilih untuk mengikuti arahan dari lelaki bersarung dan berpeci itu.
Laki-laki berjaket kulit itu sampai di depan pintu gerbang pondok pesantren, ia pun berlari menghampiri laki-laki yang dirinya telah jumpai di kapal laut yang baru saja keluar dari ruang kepala yayasan.
"Hei, Bro! Mau tanya dong!" tanyanya membuat Bassam menaikkan alisnya, "Di dalam ngomongin soal apa aja, yah?
"Nggak ada. Paling juga nanti kamu akan langsung ditunjukin asramanya." Bassam pun pamit pergi, laki-laki berjaket kulit itu masuk ke ruang kepala yayasan pondok pesantren. Tak lama kemudian, calon santri-santri yang lainnya juga memasuki ruangan itu.
Salman, laki-laki berjaket kulit itu menempati asrama Gunung Jati, yang juga dihuni oleh ketiga pemuda yang juga satu bus dengan dirinya, Saifullah, Ameer, dan Hamzah.
Ini adalah ketetapan takdir, baik Salman ataupun yang lainnya tak bisa menolak apalagi bernegosiasi dengan sang kepala yayasan untuk masalah teman tidur di asrama.
Keempat pemuda itu sampai di asrama Gunung Jati, dimana mereka harus menaiki anak tangga yang banyak, dan tentunya itu membuat Ameer merasa kelelahan. Sebab selain Ameer membawa barang-barangnya, laki-laki itu juga harus membawa berat badannya yang mencapai tujuh puluh tiga kilo itu. Mereka semua pun tidur melantai, beralas tembikar. Tak lama kemudian, Hamzah muncul usai dari kamar mandi. Lalu ia meletakkan tas punggung di lantai, dan merogoh sebuah tas kecil yang di dalamnya berisi kasur lipat. Salman, Saifullah dan Ameer ternganga lebar. Mengapa mereka tak terpikirkan sebelumnya untuk membawa kasur lipat juga seperti Hamzah. Dengan begitu, tidur pun bisa nyenyak.
Salman masih belum juga tertidur, masih duduk dan garuk-garuk kepala, sambil mengamati orang-orang di sekelilingnya. Semuanya telah dipersiapkan masak-masak. Seperti perlengkapan untuk tidur, semua santri memakai selimut, sweater. Hanya Salman yang tak memilikinya, yang ia punya yaitu jaket kulit yang dikenakannya. Mana mungkin Salman tidur dengan jaket yang sudah berhari-hari dirinya pakai. Nanti yang ada, teman-temannya tak bangun-bangun dari tidur, karena pingsan mencium bau jaket kulit Salman.
Saat Salman berbalik badan, sebuah selimut bercorak bunga-bunga ada di depan matanya. Ia menghela napas berat, lalu pelan-pelan menggeser selimut itu.
"Kenapa selimutnya nggak dipakai?" tanya Saifullah sambil mengerutkan keningnya.
"Kalau Lo mau, pakai aja!" jawabnya ketus.
"Oh, karena motifnya bunga? Terus, Lo malu gitu?" imbuh Saifullah sambil meringis, "Pakai aja kali, lagipula nggak ada yang tau kok kalau Lo pakai selimut itu. Tenang aja, Gue enggak akan bilang ke siapa pun tentang hal ini!"