Perkelahian itu terus berlanjut hingga ditonton oleh ratusan para santri yang melihat dari lantai atas pondok pesantren. Tentu saja itu adalah tontonan yang epik, Santri penghuni asrama Sunan Gunung Jati juga tak kalah heboh menyaksikan salah satu dari teman asramanya itu. Ketiga pemuda tersebut memberi tepukan yang sangat gemuruh untuk Salman karena begitu lihai dalam bermain silat.
Di bawah terik sinar mentari yang begitu menyengat. Tak memutus semangat keduanya, yang masing-masing saling menunjukkan kekuatannya. Salah seorang santri berlari ke arah Saifullah dengan napas yang memburu. Saifullah meminta santri itu untuk menarik napas terlebih dahulu. Santri itu menyebutkan, bahwa Salman akan mendapatkan masalah besar jika tak mau menghentikan perkelahian itu. Saifullah, Ameer dan Hamzah mengerutkan kening. Keringat pun mulai muncul di keningnya. Lawan Salman itu adalah Mas Bassam, anak dari Kyai Alim, pemimpin pondok pesantren AT-TAQWA.
Para penghuni pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya menyebut putra dan putri dari keluarga besar pondok pesantren atau ulama besar dengan panggilan 'Mas' untuk laki-laki dan 'Ning' untuk perempuan, meskipun usianya jauh lebih muda, hal itu ditujukan sebagai tanda penghormatan. Mendengar pernyataan dari santri itu, Saifullah berlari ke tengah halaman lalu merangkul erat Salman dari belakang dan membawanya pergi ke tepi halaman. Sontak Salman memberontak, hingga nyaris menyikut tubuh Saifullah. Semua pasang mata menatap aneh Saifullah. Kecuali Ameer dan Hamzah yang merasa cemas.
"Mau Lo tu apa sih!" ucap Salman sambil melotot, "Selalu aja ikut campur urusan Gue!"
Saifullah menghela napas pelan. "Gue cuma enggak mau Lo kena masalah! Karena orang yang Lo hadapi itu adalah Mas Bassam. Anak dari pemimpin pondok pesantren ini!"
Pupil matanya melebar lalu melirik ke arah laki-laki yang masih berdiri di tengah halaman itu. Saifullah pun melangkah pergi dan kembali ke asramanya diikuti dengan Ameer dan Hamzah. Semua santri yang lain juga ikut bubar dan masuk ke asrama masing-masing. Kini hanya ada Salman dan Bassam. Salman berjalan menghampiri Mas Bassam sambil merunduk.
"Gue belum kalah! Gue cuma mau minta maaf, karena sikap kurang ajar Gue ke Lo!" cetus Salman tersenyum simpul sambil mengulurkan tangannya pada Bassam.
"Aku akui bahwa kamu hebat! Aku berharap kita bisa jadi teman bukan lawan, dan jangan pernah sungkan meski aku adalah anak pemimpin pondok pesantren ini!" tegas Bassam menjabat tangan Salman dengan sangat erat.
Menjelang Maghrib, hari ini Saifullah kebagian giliran untuk memasak menu makanan malam di dapur yang ditujukan pada seluruh santri. Seusai masak, ia pergi ke asramanya membopong tampah berbentuk bundar yang di atasnya dilapisi pelepah daun pisang untuk dibagikan makanan itu pada teman-teman di asrama Sunan Gunung Jati dan menyantapnya bersama-sama. Menu makanan yang sederhana, nasi putih, lauk pauk tempe dan tahu goreng, ikan asin, sayur kubis, dan tak lupa sambal taon.
"Sorry :)" Sebuah tulisan ukiran pada wajah selembar sayur kubis di atas pelepah daun pisang milik Salman.
Mulut Laki-laki Kutub Selatan itu melengkung membentuk senyuman. Mereka pun mulai menyantap makanan itu dengan begitu lahap.
Seusai menyantap makan malam, para santri masing-masing sibuk belajar. Ada yang menghafalkan isi Al-Qur'an, Hadist. Tetapi tidak untuk Salman, ia masih merasakan rasa perih lebam di sudut bibirnya. Hamzah menjadi orang pertama yang masuk ke asramanya usai ikut membaca Al-Quran bersama santri yang lainnya. Ia juga terlihat sedang menenteng kotak kecil berbentuk pipih, dan berjalan menghampiri Salman yang sedang menyandarkan punggungnya di tembok.
"Buruan diobati, biar cepat kering tuh lukanya!" ucap Hamzah sambil menyodorkan kotak P3K itu pada Salman. Salman pun meraihnya dan mulai pelan-pelan mengobati lukanya.
Hari ini, entah mengapa Salman merasakan hatinya begitu tenang. Ia bertemu dengan orang-orang yang begitu memedulikan dirinya, meskipun mereka tak sedarah. Tetapi apalah arti dari ikatan darah jika tak pernah tebersit di hatinya sebuah keikhlasan untuk saling tolong menolong dalam sesama.
Bulan semakin menggelincirkan dirinya ke barat. Matanya masih menyala terang. Ia terbayang-bayang wajah orang tersayang. Ibu dan Ayahnya yang selalu menganggap dirinya sebagai pecundang. Bagaimana saat suara keras dari knalpot brong motor nya mengusik keheningan malam yang damai.
Ia yang selalu menginginkan di tengah malam penuh riuh rendah, kini sepi mulai menjadi kawan paling terbaik.