ASRAMA DANYANG

Niatun Nikmah
Chapter #5

Memasak Takdir Yang Salah

Guratan nur mentari menyinari pondok pesantren AT-TAQWA. Lembaran-lembaran kertas Alquran yang terlantunkan itu menerangi setiap hati yang gelap gulita. Suara legit nan lembut menenangkan bagai harmoni merdu. 

Kiai Alim dan Mas Bassam yang sedari berdiri di belakang sosok santri yang tengah duduk bersila bertilawah di dalam mushola Al-Bilal itu saling bersitatap dan berdecak kagum. 

Kiai Alim jadi terlempar ke dalam memori masa lalu saat mendiang sang putra sulung bertilawah dengan merdu sekali, membuat hatinya bergetar, dan air mata mengalir deras di pipi. 

Santri itu pun akhirnya selesai membaca Alquran, ia berdiri dan berbalik badan. Pupil matanya melebar melihat sang pemimpin pondok pesantren memapang senyum manis pada dirinya. 

Sosok Santri yang baru saja bertilawah itu adalah Saifullah, laki-laki irit bicara itu yang cita-citanya ingin menjadi seorang qori. Sedari kecil Saifullah sangat suka mendengar orang-orang mengaji saat masih di kampungnya. Sampai-sampai ia harus membeli radio untuk mendengarkan para qori yang bertilawah di acara televisi nasional. Saifullah hidup di tengah-tengah keluarga yang terbilang melarat. 

Jangankan di rumahnya memiliki televisi, bermimpi makan dengan piring beling saja tidak mampu. Ia memakan dengan piring seng yang di tengahnya terdapat motif bunga berukuran besar. Terkadang jemarinya ketika sedang makan sampai tersayat karena piring seng yang sudah berkarat dan keropos

Saifullah berjalan menghampiri Kiai Alim sambil merunduk dan mencium punggung telapak tangan sambil membolak-baliknya dengan sangat lembut. Ia juga menjabat tangan Mas Bassam. 

Kiai Alim mempersilakan santrinya itu untuk duduk bersama sang putra bungsu. Lalu sang pemimpin pondok pesantren itu menyampaikan niatnya untuk meminta Saifullah menjadi pembaca alberzanji di kelompok Al-Mustofa yang telah dibentuk sejak pondok pesantren AT-TAQWA berdiri. 

Saifullah pun melongo, lalu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia merasa belum pantas mendapatkan kedudukan itu, terlebih dirinya masih dalam proses belajar. Namun siapa sangka, tilawahnya itu telah berhasil menyentuh hati Kiai Alim. Hal itu membuat Kiai Alim menunjuk Saifullah karena sudah seperti seorang qori yang begitu mahir, melafalkan huruf-huruf hijaiyah dengan jelas dan tepat, panjang pendek bacaan terpenuhi, dan juga jelas dalam melafalkan ilmu tajwidnya. 

Pastinya Saifullah, melafalkan qasidah berupa pujian-pujian dialberzanzi sudah tentu bisa. 

Saat Saifullah tiba di asramanya, semua teman-temannya di sana berdiri sambil membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada sang qori yang baru terpilih dari Asrama Sunan Gunung Jati. Salman berjalan menghampiri Saifullah lalu meminta laki-laki di hadapannya itu kepalanya untuk sedikit merunduk. Tanpa merasa ragu Saifullah menuruti kemauan Salman. 

Lihat selengkapnya