Aku ingin menjadi tunas kelapa
Di mana pun berada, dia tetap selalu tumbuh.
Dari hujung daun hingga ke akar tak ada yang sia.
Pupil matanya melebar, Salman pun langsung beringsut di samping kursi duduk yang ada di perpustakaan. Mendengar suara riuh, Ameer beranjak sambil mengamati sekelilingnya. Ia merasa hanya dirinya saja yang ada di dalam perpustakaan, karena secara kebetulan Ameer yang tengah membawa kunci perpustakaan, untuk menjadi petugas perpustakaan di jam malam. Namun ia teringat dengan pintu ruang perpustakaan yang belum sepenuhnya tertutup. Ameer pun berjalan ke arah pintu, seketika matanya melotot pintu ruang perpustakaan yang terbuka lebar. Kepalanya miring, mengerutkan kening, sambil garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Perlahan matanya turun ke bawah. Kain lap siapa yah yang tertinggal di sini?
Sreett! Bug! Salman teriak kesakitan karena kepalanya terbentur kaki meja kayu. Ia pun keluar dari bawah meja, lalu berdiri sambil menggosok-gosok kepalanya yang terasa nyut-nyutan. Ameer melongo, karena tak menyangka kalau Salman ada di bawah sana.
"Lo gimana sih, gimana kalau gamis Gue robek?" keluh Salman pada Ameer sambil merengut.
"Ck!" Ameer mengecap, "Wong gamisnya juga nggak kenapa-napa! Lagian, ngapain mainan di situ. Jangan-jangan Lo ngikutin Gue, yah?"
"Iyaa!" jawab Salman mendecak kesal sambil melipat tangan di depan dada.
Ameer tersentak. "Eh, yang harusnya kesal tuh Gue, kali!"
Salman manggut-manggut. "Oke, Gue emang salah. Tapi cuma setitik, sedangkan kesalahan Lo banyak!"
Ameer mengerutkan keningnya mendengar pernyataan dari laki-laki yang ada di hadapannya itu.
"Pertama, di hari pertama Lo udah susahin temen-temen di Asrama karena harus gotong royong angkat badan Lo itu, lalu esoknya Lo minta makanan yang harusnya itu udah jadi hak milik Saif! Terus hari ini, Lo jahat banget!" jelas Salman penuh penekanan membuat Ameer merunduk, "Kenapa? Karena sikap Lo yang kekanakan itu, Lo buat semua orang yang sayang sama diri Lo kecewa! Bukan cuma Kiai Alim, bahkan Lo udah kecewain orang tua di rumah!" Ameer tertegun, lalu menghela napas berat seraya memejamkan matanya.
Salman pun melangkah pergi dari ruang perpustakaan, meninggalkan Ameer seorang diri di sana.
Fajar menyingsing, menu makanan telah tersaji di dalam lemari dapur santri putra. Ada lauk pauk ikan asin, tempe, tahu, dadar jagung, sambel pecel, sambel terasi, sayuran genjer, kubis, selada dan sego empok (nasi yang dibaluri dengan parutan jagung).
Semua santri menyantapnya dengan lahap, sampai ada yang meminta tambah, karena terlalu nikmat makanan di pagi hari itu. Namun sedari tadi pagi, Salman dan teman-temannya tak melihat batang hidung Ameer yang tumbenan tak ikut berbaur dengan santri lainnya saat makanan telah tersaji. Hamzah pun mengalah, ia beranjak dan pergi untuk menengok Ameer di asrama. Saat ia sampai di sana, ternyata kosong. Hamzah merasa kebingungan mencari Ameer, ia pergi ke ruang perpustakaan, lalu ke kelas, dan tempat pencarian terkahirnya ke mushola Al-Bilal.
Semua tempat yang biasa Ameer kunjungi pun tak ada wujudnya. Dari kejauhan Saifullah berlari menghampiri Hamzah dan mengajaknya ke suatu tempat. Sungai kecil bersih, tepat di belakang bangunan kamar mandi para santri putra. Di sana ada 2 bak berukuran besar yang biasa para santri gunakan untuk mencuci piring dan pakaian.
Mereka terkejut melihat Ameer yang tengah mencuci piring, gelas dan wadah sisa makanan para santri. Saifullah duduk berjongkok di samping Ameer, dan diikuti dengan Hamzah. Seluruh badannya dikeroyok keringat, dengan napas yang terengah-engah.