Pengajian rutin pun berlangsung di mushola Al-Bilal. Hamzah mulai pergi menuju dapur umum santri putra. Semua teman-temannya sudah berkumpul di mushola, kini Hamzah seorang diri di sana. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Gelas-gelas berukuran kecil itu pun mulai dirinya isi dengan bubuk kopi yang ditumbuk halus oleh beberapa santri tempo hari lalu. Ia taburkan gula pasir dan mengaduknya pelan-pelan.
Seratus lima puluh gelas kopi sudah tersaji, Hamzah pun mulai mengulurkannya pada kedua santri yang sudah menanti kedatangan kopi di depan pintu asrama santri putra. Mereka itulah yang akan membawa kopi-kopi itu lalu diberikan kepada para tamu undangan. Seluruh kedua tangannya merasa tengah dikerubuti banyak semut. Kaki yang terasa terganjal oleh batu. Mata mulai sayup-sayup, namun mulutnya tetap berzikir, telinga juga turut mendengar pujian-pujian qasidah.
Pengajian rutin itu pun telah berakhir, Kiai Alim tersenyum lega setelah mendengar pujian-pujian dari para tamu karena sajian kopi hitam yang diracik oleh santrinya begitu nikmat. Menjelang salat Dhuha, Mas Bassam bertandang ke asrama Sunan Gunung Jati sambil memeluk buku kumpulan dari hadits-hadits yang ditujukan kepada Hamzah. Sampai di depan jendela asrama, ia tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat Hamzah yang masih berada di atas kasur lipatnya. Tidurnya tampak begitu pulas, hingga terdengar jelas. Mas Bassam pun memilih untuk pergi, dan membawa kembali buku kumpulan hadist itu.
Di kelas pagi, wajah Hamzah tampak terlihat pucat, kantong matanya menghitam. Sepanjang jam pelajaran, menenggelamkan wajahnya di dalam buku paket sekolah. Saifullah yang duduk di sampingnya merasa cemas. Ia beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan ke bangku Salman. Mereka berdua mencoba menepuk-nepuk pundak Hamzah secara perlahan, hingga Hamzah pun terhenyak dan berucap,"Siap! Kopi murni segera dibuatkan!"ucap Hamzah dengan lantang, berdiri tegak, sambil telapak tangan kanan telungkup di samping keningnya, tampak seperti tengah memberi hormat. Seisi kelas pun dipenuhi gelak tawa yang sebelumnya hening.
Hamzah mengamati sekelilingnya, wajahnya memerah. Dasar mulut! Kenapa sih ngegas mulu, batinnya kesal. Sementara Salman, Saifullah saling pandang sambil mengerutkan kening. Seolah menanyakan 'Apakah Hamzah sudah mulai betah sekarang jadi tukang aduk kopi?"
Seusai pelajaran sekolah pagi berakhir, lalu meletakkan buku pelajarannya di asrama. Hamzah langsung bergegas menuju dapur umum, untuk mencuci semua piring dan gelas kotor. Sampai di sana, matanya melebar melihat teman-teman se asramanya turun ke dapur untuk membantu dirinya mencuci piring dan gelas.
Hamzah berjalan menghampiri Salman, Saifullah dan Ameer. Laki-laki bertubuh tinggi semampai, kurus itu tersenyum dengan matanya yang menggenang. Ia pun ikut berbaur, dan mencuci piring, gelas secepat kilat. Terkadang, kerap merasa aneh karena orang yang tak sedarah lalu memberi kita pelajaran berupa wejangan meski hal yang terucap dari mulutnya itu pun begitu menyakitkan hati, hingga mengeras seperti batu. Namun mereka masih bersedia memberi welas asih ketika kita tak bisa melakukannya seorang diri dan mereka cepat kaki ringan tangan tanpa berpilih kasih.
Tinggal menghitung hari, para santri pondok pesantren AT-TAQWA akan mengikuti ujian tryout untuk Madrasah Aliyah. Momen yang sangat dinanti-nantikan oleh setiap santri yang mondok, dan di pondok pesantren AT-TAQWA ini memberikan kesempatan bagi para santri untuk meminta doa restu pada kedua orang tua, begitu sebaliknya menjadi momen sakral pertemuan antara orang tua dan anak yang sudah lama tak bertatap muka. Para santri begitu gembira menyambut ujian tryout sekolah, mereka juga tak sabar segera bertemu dengan kedua orang tua masing-masing. Sebelum ujian tryout dilaksanakan, pihak pondok pesantren akan mengadakan pembacaan yasin, tahlil dan istighosah bersama di halaman pondok pesantren yang akan diikuti oleh seluruh masyarakat pondok dan para wali murid. Ketiga santri penghuni asrama Sunan Gunung Jati mulai menyetrika pakaian terbaiknya, dari mencuci peci, lalu saling mengantre untuk menyetrika baju, dan sarung. Saifullah menyoroti wajah salah seorang teman asramanya yang sejak diumumkannya ujian tryout sekolah terus berdiam diri. Salman yang wajahnya kosong, sekosong jiwanya. Ia pun duduk di samping lelaki yang tengah merenung itu. Sedangkan Ameer dan Hamzah sibuk menjemur peci masing-masing.
"Jujur nih yah! Gue tuh lebih suka muka Lo kalau lagi tengil gitu. Pelatih silat kok galau-galauan!" sindir Saifullah, Salman masih terdiam, "Mau Gue cuci dan setrikain nggak, tuh baju?" Salman benar-benar tak ingin menggubris perkataan laki-laki di sampingnya itu. Salah seorang santri berdiri di ambang pintu sambil meneriaki nama Saifullah.
Santri itu membawa pesan dari Mas Bassam agar Saifullah segera turun untuk melakukan persiapan berlatih alberzanji dengan para santri yang mengikuti ekstrakulikuler tersebut dan akan tampil sebelum acara doa bersama berlangsung.
Mas Bassam merasa gelisah, karena Saifullah tak kunjung menyembul dari balik pintu masuk asrama putra. Salman berdiri dari tempatnya duduk, lalu menghela napas pelan.
"Gue enggak bisa ikut ujian tryout ini!" ucap Salman merunduk. Semua santri di dalam asrama itu saling pandang dan melongo.