Hari Raya Rindu itu telah tiba, semua santri pun keluar menuju ke halaman pondok pesantren, memakai pakaian terbaiknya untuk mengikuti kegiatan pembacaan yasin, tahlil dan istighosah bersama. Begitu pintu gerbang pondok pesantren terbuka, semerbak wangi bertebaran, senyum pun merekah, mata bercahaya, para santri berjalan sambil setengah berlari menghampiri kedua orang tuanya masing-masing, memeluknya erat, menciumi pipi, lalu menciumi punggung tangan bolak-balik. Hati Salman bergetar, matanya menggenang melihat momen hangat itu.
Saifullah merangkul erat Salman di pundaknya, lalu menarik tangan dan membawanya pada seorang pria dan wanita yang sangat renta. Kening bergelombang, mata yang berwarna biru, pipi yang sedalam sumur itu membuat Salman mengerutkan keningnya.
"Salman, mereka adalah Ibu dan Bapak Ku!" ucap Saifullah membuat Salman manggut-manggut, "Pak, Buk. Salman sudah Saif anggap seperti saudara kandung sendiri. Apa Ibu dan Bapak keberatan kalau memiliki satu anak lagi?"
Alis Salman menyentak bersama-sama. Kedua orang tua Saifullah menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum manis. Sang ibu berjalan ke arah Salman, lalu mengusap lembut kepalanya.
"Mengapa tidak boleh? Ibu malah senang, memiliki satu anak laki-laki lagi yang begitu tampan!" sahut sang ibu membuat Salman meringis.
"Jangan sungkan-sungkan, Nak. Kita ini sekarang adalah keluargamu!" tegas Bapak Salman.
Saifullah merangkul Salman, menatapnya seraya mengedipkan mata. Salman menghela napas lega, karena telah mendapatkan keluarga baru yang utuh. Mulai hari ini dan seterusnya Salman tak akan lagi merasakan kesepian.
Sundari dan Ma'ruf, kedua orang tua dari Saifullah merasa bangga dan terus mendecak kagum melihat sang putra yang begitu hebat melantunkan ayat-ayat suci Alquran juga pujian-pujian qasidah. Lalu semua berdiri untuk melaksanan sholat duha, kemudian dilanjutkan membaca yasin, tahlil, istighosah dan doa bersama.
Para santri tak kuat lagi menahan bulir-bulir bening itu agar tak pecah, selagi Kiai Alim menceritakan kisah Uwais al-Qarani. Seorang tabi'in yang hidup pada zaman Nabi Muhammad tapi tidak sempat bertemu Nabi. Ia sangat rindu kepada Rasulullah SAW., tetapi lebih memilih untuk berbakti kepada ibunya yang lumpuh. Beruntunglah, kalian yang masih memiliki orang tua yang utuh. Doamu yang penuh, termakbul langsung. Salman terus merunduk, tak ingin menampakkan matanya berenang dengan air mata.
Kiai Alim memerintahkan pada semua santri untuk menghampiri orang tua masing-masing lalu meminta maaf atas segala luput dan khilaf, serta memohon doa restu untuk kelancaran ujian tryout sekolah. Saifullah, Ameer, dan Hamzah berjalan ke tempat duduk orang tua masing-masing. Sedangkan Salman masih merenungkan, kesahalan-kesalahan yang dirinya perbuat selama kedua orang tuanya masih hidup.
Saifullah menoleh ke arah Salman seraya melambai-lambaikan tangannya, lalu meminta temannya itu untuk bergabung bersama dirinya dan kedua orang tuanya. Tetapi Salman malah pergi dan menuju ke asrama. Saifullah, Ameer dan Hamzah saling berpandangan dan mengangkat bahu. Saat ketiga pemuda itu menuju ke asrama, tiba-tiba muncul Salman sambil menggendong tas punggungnya.
"Lo mau ke mana bawa tas?" tanya Saifullah