Denyut jantung nya kini berdetak lebih kencang. Melebihi dari suara knalpot brong yang dulu yang sumbang.Wajahnya pun merunduk, ia berjalan sambil sedikit membungkukkan badan.
"Tol!" ucap seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Huh, suara itu lagi. Suara yang tak pernah ingin Salman dengar. Sebab setiap kali menyebut nama Salman, tak melafalkannya dengan benar. Orang tersebut selalu memanggil Salman dengan sebutan Tol, yang memiliki kelanjutan Tole alias anak laki-laki. Padahal hanya perlu satu huruf saja untuk melengkapi panggilan nama itu. Laki-laki paruh baya, namun matanya masih terlihat bening, dan jiwanya masih bugar. Senyumnya merekah bagai bunga yang mekar pada pukul tiga, menyapa matahari kala mulai tenggelam yang memberikan warna yang memesona di tengah keremangan senja. Salman mengaga lebar, melihat pria di hadapannya itu baru saja melempar senyum, usai nyaris selama tinggal di kampungnya tak pernah ada guratan senyum di wajahnya yang bulat sempurna itu.
"Lagi balikan pondok, yah?" tanya Pak Yono, satpam di kampung Tirtawangi membuat Salman menggeleng-gelengkan kepalanya, "Terus, tujuan kamu ke sini buat apa?"
"Saya ingin mengunjungi rumah ayah dan ibu, Pak!" jawab Salman sambil menghela napas pelan.
Pak Yono manggut-manggut. "Kalau begitu, ayo Tol ikut dengan saya!" Salman seketika melongo. Pak Yono pun langsung menarik lengan tangan Salman. Keduanya pun tiba di depan pintu gerbang tempat pemakan umum kampung Tirtawangi. Salman melangkah masuk, namun dirinya mendadak berhenti karena melihat Pak Yono mengikuti dirinya.
"Loh, Pak Yono ke sini mau mengunjungi siapa? Bukannya Bapak belum menikah yah?" cetus Salman membuat Pak Yono melotot.
"Jadi kamu pikir orang jomblo enggak boleh gitu mendoakan orang-orang yang sudah meninggal?" sahut Pak Yono sedikit kesal, "Saya tuh cuma enggak mau sampeyan jadi keliru. Soalnya nyaris belasan tahun enggak ada yang datang untuk nyekar ke makam orang tua kamu!"
Deg! Tubuh Salman bagai telah terhantam oleh beban yang berat. Membuat hatinya remuk. Begitu malang nian nasib makam kedua orang tuanya, yang kini berselimut banyak rerumput, ilalang, batu nisan tak berupa. Kotor dan mulai sirna ukiran nama di sana. Salman pun mulai membersihkannya dibantu dengan Pak Yono. Setiap tiga minggu sekali, ketika rumput-rumput mulai tumbuh lagi. Orang-orang kampung selalu bergotong-royong membersihkan area pemakaman umum, begitu makam dari orang tua Salman tak ada yang orang satu pun menyentuh. Semua itu biang dosa yang telah Salman perbuat. Salman selalu berbuat onar di kampung Tirtawangi, hingga saat ini beberapa masih ada yang membenci.
Pak Yono juga tak bisa berbuat banyak, karena tugasnya memang diperuntukkan sebagai seorang penjaga keamanan di kampung Tirtawangi. Sementara ini, belum ada seorang pengganti penjaga makam yang lama telah meninggal dunia. Kaki Salman melemas, ia duduk bersimpuh di hadapan makam sang ayah dan ibunya. Muara air mata yang bertahun-tahun terbendung itu pun jebol. Ia bersujud sambil bergantian mengelus-elus batu nisan kedua orang tuanya. Pak Yono yang melihat itu merasa iba. Kali pertamanya dirinya melihat Salman yang terkenal begitu bengis ternyata bisa juga menangis. Pak Yono pernah mendengar, bila Hati yang keras itu cenderung sulit menerima pelajaran dan peringatan. Seperti besi dan baja apabila dibakar oleh api akan meleleh dan lebur. Sedangkan batu bila dibakar tak hancur.
Demikianlah hati yang keras yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Api Neraka pun tak dapat melebur dosa-dosanya, hingga ia berhak kekal di dalamnya. Salman orang yang beruntung, karena dirinya masih diberikan kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan yang lurus.