Ruqayah berapi-api matanya. Dengan muka berang, ia menghardik di depan anaknya. "Kalau tau setiap hari kamu begini, Ibu enggak akan pernah setuju kamu buat mondok!" Semua pasang mata saling pandang dan menatap Ruqayah dengan aneh. Termasuk juga Saifullah, dan Ameer. Sementara Hamzah berdiri kaku, wajahnya pucat. Akankah kali ini aku akan ketahuan oleh mereka karena niat mondok yang salah ini, batinnya cemas. Sedangkan mata para santri seolah menanyakan "Bagaimana bisa seorang ibu yang menyuruh anaknya untuk mondok bisa berbicara demikian?" Hamzah mulai gelisah, lalu menarik paksa lengan Ibunya dan membawanya pergi menjauh dari kerumunan teman-temannya.
Sang ibu merasa semakin panas, suhu dan tekanan tinggi bagai isi perut bumi. Hamzah menggigit jari dengan kepala merunduk.
"Jadi selama kamu di sini, kamu bangun tengah malam untuk salat terus setelah itu enggak dibolehin tidur lagi. Lalu lanjut cuci piring-gelaa kotor mereka semua?" cetus Ruqayah dengan penuh penekanan, "Jahat sekali mereka!"
Hamzah menghela napas berat. "Semua ini tuh salahnya Ibu!" Alis Ruqayah menyentak bersama-sama mendengar tuduhan itu, "Kalau saja Ibu enggak iri sama Tante Aminah. Enggak bakalan Hamzah bernasib seperti ini, Bu!"
Ruqayah terdiam. Hamzah pun melangkah pergi dari hadapan sang ibu.
Ruqayah akhirnya memilih melangkah pergi sambil melingkarkan lengan ke tubuh seraya menyeret kaki dari pondok pesantren itu, meski dengan hati yang berat usai mendengar kata-kata yang serakah. Tiada senyum yang merekah di wajah Hamzah.
Saat kakinya hendak memijakkan di tangga anak mobil travel, jemari tangan merengkuh pintu, ia bertemu dengan sosok seorang laki-laki yang wajahnya berseri-seri , matanya berenang dengan air mata di sisi pintu gerbang pondok pesantren AT-TAQWA.
"Assalamualaikum, Bu!" ucap Salman tiba-tiba muncul membuat Ruqayah tersentak, "Ibu kemari ingin bertemu dengan Hamzah, yah?" Ruqayah celingak-celinguk mencari sosok laki-laki yang dirinya temui beberapa menit yang lalu, namun laki-laki itu nyatanya sudah pergi. Salman mengerutkan kening lalu menoleh ke belakang.
"Salam untuk Hamzah, yah! Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, hati-hati Bu! Semoga Allah melindungi Ibu dan semuanya!" sahut Salman tersenyumebar sambil melambaikan tangan.
Hamzah masih berada di dalam kamar mandi, sedangkan banyak para santri yang tengah berbaris rapi mangantre di luar. Amer yang kakinya mulai terasa dikerubuti semut itu pun kesabarannya sudah habis, dimakan oleh waktu. Ia pun meminta agar teman-temannya itu sedikit menjauh, sebab dirinya akan membuat Hamzah bisa bergegas keluar dari dalam sana dengan cara melakukan ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar mandi. Jika Ameer sudah berubah menjadi lebih garang, akan sukar membuatnya menjadi tenang.
"Tunggu! Ada apa ini?" teriak Saifullah dari jauh, ia pun bergegas menarik tubuh Ameer, "Meer, apa yang sedang terjadi di sini?"