Malam itu, sebelum esok hari jiwa-jiwa saling berperang bersama hati dan pikiran yang bersih. Hamzah terus membolak-balikkan badannya, mata merah jambu. Ia juga terus menerus menarik ulur selimutnya. Hingga ia pun mengambil posisi duduk, lalu mulai mengamati sekelilingnya. Teman-teman asramanya sedang tertidur pulas.
Jam menunjukkan angka dua belas, ia mengusap wajahnya yang keras karena menegang, mengatur napasnya yang terengah-engah. Tak lupa ia mengucap istighfar. Hamzah memandangi jarum jam yang semakin lama semakin habis. Apakah ia mampu mengerjakan soal-soal ujian tryout sekolah, sementara hatinya gelisah karena memikirkan sang ibu. Ia pun sekali lagi mencoba untuk memejamkan mata. Waktu pun berjalan sepertiga malam.
Saifullah bangun dan mengajak teman-temannya itu untuk bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat tahajud.
Saifullah berhenti lama di tempat tidur Hamzah, ia pun duduk di samping Hamzah yang berbaring.
"Zah, ayo kita salat!" ajak Saifullah tersenyum manis. Tidak ada jawaban dari Hamzah, tubuhnya pun tak merespon.
Ameer dan Salman menarik tangan Saifullah untuk keluar dari asrama dan pergi menuju ke mushola Al-Bilal. Mereka meninggalkan Hamzah seorang diri di sana.
Salat tahajud dan zikir bersama pun telah berakhir. Saifullah, Ameer dan Salman tak melihat batang hidung Hamzah di mushola.
"Rupanya Hamzah masih marah sama Gue!" cetus Saifullah murung, Salman merangkulnya di pundaknya.
"Bisa jadi tuh. Hamzah kan anaknya sensitif banget. Masalah kecil aja bisa dibesar-besarkan sama dia!" ucap Salman membuat Saifullah melepaskan rangkulan Salman dan melangkah pergi dari sana. Salman menyeringai.
Sebelum melaksanakan ibadah salat duha, Hamzah sudah terbiasa mulai pergi menuju ke dapur umum untuk membuat kopi dan menyediakannya di samping halaman mushola Al-Bilal, agar siapa saja yang usai salat bisa langsung untuk mampir menyeruput kopi murni nikmat itu. Namun karena melihat Hamzah belum juga keluar dari asrama dan bersiap diri. Saifullah lah yang mencuri langkah pertama dari Hamzah.
Matanya terbuka, mencium aroma kenikmatan dari adukan bubuk kopi murni. Ia pun mengambil posisi duduk, lalu dahinya mengerut melihat Salman duduk di tempatnya dengan menyeduh segelas plastik kopi hitam.
"Man, kok Lo udah minum tuh kopi aja sih? Gue kan belum buat!" cetus Hamzah sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Salman perlahan menoleh sambil meringis.
"Selamat yah, Zah. Karena sekarang Lo udah lulus!" sahut Salman membuat alis Hamzah bertaut, "Kok Lo diem aja sih? Harusnya seneng dong, udah enggak jadi pengaduk kopi lagi!"
Hamzah terhenyak mendengar ucapan Salman. "Maksud Lo tuh apa sih?"
"Lo liat aja sendiri!"
Hamzah berjalan keluar asrama, dan melihat para santri berlari mengerubuti area samping mushola. Area yang biasa dirinya singgahi saat melayani para santri menyeduh kopi buatannya. Hamzah pun berlari menghampiri kerumunan itu, dan terkejut melihat Saifullah yang sedang melayani anak-anak santri. Hamzah menjadi clurit yang menebas satu persatu kerumunan santri. Ia menatap tajam Saifullah sambil bertolak pinggang. "Apa maksud Lo melakukan semua ini, ha?" tanya Hamzah dengan dagu ke atas.