Kesejukan Sungai AT-TAQWA yang meneduhkan, yang selalu dipuja dan dimanja. Tenangnya bisa menghanyutkan sukma sang Singa. Tak berombak namun celotehnya kalahkan auman sang Singa. Terjerembab ke dalam air yang berubah menjadi sekat antara jiwa-jiwa yang berharap dan yang pulang berawai.
Tubuh Hamzah pun diletakkan di atas alas tikar yang diduduki oleh para Kiai dan Ustaz.
Warga sekitar merasa cemas, tubuh dan kaki mulai lemas. Beberapa Guru laki-laki pondok sudah berupaya untuk membuat warga tenang dan tak gaduh. Namun tetap saja, berontak. Mereka ingin tahu lebih lanjut bagaimana kondisi santri malang itu, sampai ada beberapa warga yang memanjat pagar batas belakang bangunan pondok pesantren dan sungai, hanya untuk memotret dan merekam peristiwa naas yang menimpa salah satu santri pesantren AT-TAQWA. Kabar duka itu pun langsung tersiar ke telinga para orang tua wali santri hingga muncul di acara berita Lintas Malam dari Kota Ijo royo-royo.
Para penumpang bus umum yang ditumpangi oleh Ruqayah dan Atim mendadak riuh, sambil menatap layar telepon genggam masing-masing, dengan pergerakan tangan yang mengelus-elus dada. Mata melesat ke arah jarum jam tangan yang semakin tergerus.
Kiai Alim melangkah masuk ke dalam rumahnya, ia tersentak ketika melihat sang istri, Bu Nyai Bahira berdiri di ambang batas ruang kamar dan ruang tamu yang bertirai. Wanita di hadapannya itu mendesah putus asa lalu melangkah pergi ke dalam kamar lalu membuka paksa lemari yang telah tergembok oleh rantai yang kuat. Dan meraih peci berwarna putih dengan bercak merah darah.
Di bagian belakangnya terdapat ukiran nama dari benang emas bertuliskan nama Bilal dalam huruf fego. Bu Nyai Bahira tunjukkan itu pada sang suami dengan air mata memenuhi matanya. Wanita itu sudah bosan tiap kali memapang senyum yang tak pada tempatnya. Tegar dan sabar hanyalah kesibukannya, dirinya benar-benar tak kuasa menahan tipu daya orang-orang terdekat. Termasuk laki-laki yang kini ada di hadapannya, sosok yang banyak dipuja itu ternyata juga bisa menjadi sosok yang durjana.
Setelah bertahun-tahun lamanya Bu Nyai Bahira menelan pahit kenyataan bahwa sang suami adalah dalang dari kematian putra sulungnya, Bilal. Kematian Bilal bukan karena sebuah kecelakaan, tetapi karena nasib yang sudah ditentukan oleh orang terdekat, bukan dari sang Pencipta. Meski Kiai Alim membantahnya, namun kejadian yang menimpa Hamzah menurut asumsi yang beredar, adalah bentuk dari balasan yang telah diperbuatnya di masa lampau. Bassam juga merasa kecewa karena sang ayah yang selama ini telah menjadi panutannya, adalah orang yang berkata dusta.
Sebelum bangunan megah itu berdiri, yang kini bernama AT-TAQWA. Warga sekitar berbondong-bondong datang ke tanah lapang yang berhektar-hektar itu, menyusun rencana untuk membangun sebuah pondok pesantren di pinggir jalan raya, yang bersanding dengan sungai ke arah desa.
Asrori, pengurus Taman Pendidikan Al-Quran yang juga orang tua dari Kiai Alim merasa tidak setuju dengan adanya keberadaan pondok pesantren itu. Karena menginginkan putra dan putri yang masih menginjak usia 6 tahun untuk mengenal huruf hijaiyah, melafazkan ayat-ayat suci Al-Quran yang baik dan tepat sebelum akhirnya naik ke tingkat yang lebih tinggi, mengenal ilmu fiqih, hadist, dan sebagainya. Meski begitu, Asrori tak mampu menahan para pemberontak itu.
Hingga pada malam di Bulan Haram, Dzulqodah. Asrori mau tidak mau harus menerima keputusan dari Bapak Kepala Desa dan warga yang menyetujuinya. Para warga berkumpul di tengah tanah yang memiliki luas berhektar-hektar itu sambil menggendong alat cangkul, sabit untuk membersihkan alang-alang yang menghijaukan tanah lapang tersebut.
Dug! Dug! Bruk!