Ular Danyang, bukanlah seekor ular yang ganas. Bukan pemangsa, tetapi adalah penjaga. Ia singgah di bawah tanah yang memiliki lubang besar dan dalam, dan menjadi tempat paling aman dan nyaman sebelum akhirnya rumah singgahnya diusik oleh keserakahan manusia. Ular itu memiliki bentuk tubuh yang besar, jika ia keluar dari rumahnya, tubuhnya yang melingkar di atas tanah bisa setinggi orang dewasa. Ia muncul ketika tanah mulai kering kerontang.
Kehadirannya kerap membuat orang yang melintasi jalanan itu terkejut hingga lari terkencing-kencing. Meski sebenarnya ia datang bukan untuk mengganggu. Batu kecil berwarna jingga kemerah-merahan yang berada di atas kepala Ular Danyang, bukanlah sebuah tanda keburukan melainkan sumber kekuatan dan tameng bagi dirinya apabila ada yang mencoba mengusik.
Bus umum yang ditumpangi Ruqayah dan Atim akhirnya tiba di depan halaman Pondok Pesantren AT-TAQWA. Pintu gerbang pondok pesantren tertutup rapat, selain tergembok rantai, juga tertutup oleh kain terpal plastik yang hampir menutupi seluruh permukaan dalam pintu gerbang hingga menyentuh tanah dan membuat tak tampak lagi halaman depan pondok. Ruqayah dan Atim saling berpandangan, sambil mengerutkan kening. Belum pernah sebelumnya, keduanya melihat pondok pesantren AT-TAQWA itu sunyi dan sepi. Karena menjelang matahari terbit, para santri-santrinya bergotong royong membersihkan halaman depan, dan samping pondok.
Semalam, setelah peristiwa di malam satu suro. Tubuh Hamzah yang masih terbujur kaku di atas kasur lipatnya di asrama Sunan Gunung Jati, juga dikelilingi oleh teman-teman asramanya, Salman, Saifullah, juga Mas Bassam dan Kiai Alim. Seorang santri yang menjaga pintu gerbang pondok datang menghampiri Saifullah yang duduk sambil merunduk di dekat pintu asrama. Seketika Saifullah terhenyak mendengar ucapan santri itu yang mengatakan bahwa kedua orang tua Hamzah berada di depan pintu gerbang pondok. Saifullah perlahan merangkak mundur dan bergegas pergi menemui orang tua Hamzah.
Saifullah meminta agar pintu gerbang pondok dibukakan. Ruqayah yang sedari tadi berusaha mengintip dengan kedua kaki yang berjinjit itu terkejut melihat pintu di hadapannya pun terbuka lebar. Ruqayah tetap berdiri di sana sambil merunduk, suaminya juga ikut merunduk. Saifullah menyembul dari balik pintu gerbang dengan melipat kedua tangan di depan dada dan memapang senyum yang begitu manis.
"Selamat datang Ibu, Bapak. Hamzah pasti senang, karena kedatangan Ibu dan Bapaknya di sini!" ucap Saifullah bergetar.
"Nak, tolong maafkan Saya!" cetus Ruqayah matanya menggenang, "Saya cuma ingin melihat Hamzah bahagia dalam hidupnya, itu saja!" Atim mengelus-elus pundak sang istri.
Saifullah manggut-manggut lalu menghantar Ruqayah dan Atim untuk bertemu dengan anak semata wayangnya. Saifullah membungkuk sambil menggosok tangannya, langkah kakinya terasa berat untuk melangkah lagi.
"Zah! Kenapa harus Lo sih yang pergi! Kalau emang ini salah Gue, kenapa Dia enggak pilih Gue!" teriak Ameer di tepi Sungai AT-TAQWA.
Salman datang untuk membersamai Ameer di tepi Sungai.
"Lo harus balik Zah! Karena Gue udah enggak mau jadi orang jahil lagi, Gue juga enggak akan buat Lo kesal lagi! Kita semua sayang sama Lo!" Ameer merangkul erat Salman dengan tubuh merosot.