Pagi mulai menyapa, cahaya matahari menyelusup melewati kisi-kisi jendela menembus sela-sela gorden yang menari diterpa angin. Aku terbangun, masih dengan wajah lusuh. Merenggangkan tubuh sembari mengumpulkan nyawa bersiap untuk mandi.
Ku tarik gorden ke arah kanan, mengintip surya dari balik jendela yang masih tampak malu menampakkan diri di kaki langit. Rambutku yang basah segera ku keringkan. Jika bukan karena liburan, aku tidak akan keramas dalam waktu dekat.
Akhir-akhir ini, langit sangat kurang bersahabat. Terkadang, tiba-tiba panas, tiba-tiba mendung, dan terkadang pula tiba-tiba hujan.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.45, aku bergegas bersiap-siap, sembari memasukkan barang-barang yang aku anggap penting ke dalam tas ransel, lalu berjalan ke arah ke halte bus yang letaknya tidak jauh dari kosan. Kampus dan kosan ku sangatlah dekat, hanya lima menit berjalan kaki dan lima menit lagi untuk ke halte bus.
Jalanan di hari weekend selalu ramai dengan orang-orang yang berolahraga, berjalan-jalan santai, bersepeda dan beberapa lainnya berlari pelan mengikuti irama hentakan kaki.
Tak ada pemandangan yang lebih menarik pagi ini, selain menunduk memandang kedua kakiku yang terayun. Menunggu bosan sembari sesekali bediri dan menengok pejalanan kaki yang melintas, berharap salah satu di antara mereka adalah kawanku dari sanggar tari yang datang menjemput. Di sinilah sekarang aku berada, duduk menunggu di halte bus persimpangan jalan.
Entah ini yang keberapa kalinya aku memandangi jam yang melingkar di tangan. Semua nomor yang ku telfon selalu dijawab oleh operator. Sudah lewat satu jam dari yang dijadwalkan, tetapi mereka tak kunjung datang.
Minggu lalu, dalam rapat mubes UKM sanggar tari, para senior memutuskan agar semua anggota wajib ikut dalam liburan yang di adakan di Puncak selama dua minggu. Dari yang junior sampai senior semester akhir pun disarankan datang dengan tujuan untuk menghilangkan stres dan penat setelah ujian skripsi usai. Bagi anggota baru, liburan ini di maksudkan agar mereka bisa lebih akrab dengan para senior.
Dua jam berlalu, matahari sudah mulai terik dan mereka belum juga muncul. Batang hidungnya saja tidak tampak, padahal jalanan di persimpangan halte sudah mulai sepi.
"Ah, mungkin aku di lupakan," pikirku mulai putus asa.
Tak lama, satu bus berhenti tepat di depanku. Seorang pria keluar dari bus tersebut. Gaya berpakaiannya sangat familier dan hampir setiap hari ku lihat di fakultas. Kudongakkan wajah ke atas sambil menghalau teriknya matahari dengan tangan kanan. Tepat saat itu, laki-laki di hadapanku tersenyum tipis, laki-laki yang ku ketahui lebih tua 7 tahun dari ku.
“Sedang apa kamu di sini, An?” tanya lelaki itu.
“Menunggu teman dari sanggar tari, Pak,” jawabku singkat.
Jujur, aku tidak ingin terlibat pembicaraan ataupun obrolan apapun di luar kampus dengan dosen muda yang saat ini berdiri tepat di hadapanku. Siapapun yang mengobrol dengannya akan menjadi topik terhangat ke esokan harinya di kalangan mahasiswa dan dosen. Dedaunan saja seakan memiliki telinga dan angin yang bertugas menerbangkan berita tersebut. Semua yang berkaitan dengannya adalah berita eksklusif yang sangat disayangkan jika tidak disebar luaskan.
"Mau ke mana?" tanyanya lagi.
"Rencananya mau liburan ke Puncak selama dua minggu dengan teman-teman di sanggar tari, tapi sejak tiga jam yang lalu saya tungguin nggak ada yang datang ke sini, Pak." Aku sedikit menggerutu, memainkan jari telunjuk pada benang cardigan yang sedikit mecuat keluar.
"Kamu sudah menelfon mereka?"
"Sudah, tapi yang jawab operator," jawabku apa adanya.
"Kamu sebaiknya pulang saja, cuaca saat ini tidak bisa ditebak. Kadang terik dan kadang tiba-tiba hujan."
Benar, saat ini cuaca tidak bisa ditebak. Sejam yang lalu mendung dan sekarang terik. Bisa saja sejam kemudia hujan akan turun.