Setelah sholat dzuhur di Masjid fakultas, aku segera bergegas naik ke ruangan Pak Khair. Ini pertama kalinya aku masuk ke ruangannya seorang diri. Aku berdiri di depan pintu dan mengetuk lebih dahulu sebelum membukanya.
”Kamu perlu mendengarkan pendapat orang lain kali ini, jangan membantah!" tegas lelaki itu pada lawan bicaranya di telfon.
Ia menolehkan kepalanya ke samping, melihatku yang masih berdiri membelakangi pintu. Hening beberapa detik, lalu ia mempersilahkanku duduk.
Tampak sesekali ia memijit pelipis dan mendengus seperti anak kecil. Tak ada penolakan dari perkataan yang ia ucapkan pada si penelfon. Kata-katanya seperti titah yang harus diikuti. Mungkin itu pacarnya, wajar jika overprotektif, pikirku. Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi lain dari seorang Khair, dosen killer dari Fakultas Pendidikan Kimia.
Seperti biasa, aroma lavender mengisi ruangan yang di dominasi dengan cat putih itu. Aku duduk di sofa cokelat yang berada tepat di tengah ruangan. Rentetan piagam penghargaan tertempel di dinding bertuliskan namanya.
Pandanganku terhenti pada sebuah bingkai foto yang berdiri di atas meja kerja. Laki-laki yang saling berangkulan, namun tak jelas terlihat semua karena posisinya yang miring.
"Ana, ada beberapa bagian dari laporan paraktikummu yang harus direvisi."
Setelah telefonnya ditutup dengan alasan sibuk, ia lalu duduk di sofa seberang dengan laporan praktikum yang bertuliskan namaku di sampul depan.
"Laporanmu ada kaitannya dengan penelitian yang saya dan sahabat saya lakukan saat ini. Saya ingin kamu membantu saya, caramu menyusun laporan praktikum mudah dipahami dan sangat mudah dimengerti di antara laporan lain yang saya baca."
Pak Khair menjelaskan panjang lebar bagian yang mana saja yang harus aku revisi dalam laporan yang aku buat. Satu jam kami membahas mulai dari literatur jurnal hingga memberikan beberapa rekomendasi buku-buku yang sebaiknya aku baca, sesekali bertukan pikiran dan pendapat mengenai beberapa hal.
"Saya rasa hari ini cukup untuk hal itu, kamu bisa mengirimkan kembali lewat email setelah kamu memperbaikinya," tuturnya.
Aku mengiyakan perkataannya lalu pamit dan segera keluar dari ruangannya menuju perpustakaan. Di sana ada dua orang yang menungguku dan sejak tadi sibuk mengirimkan pesan menanyakan di mana keberadaanku sekarang.
***
“Ssstttt! Kalian berdua bisa diam nggak sih” Febri menatapku tajam—tepatnya aku dan Dina yang berada di sampingnya.
Dua puluh lima menit berlalu sejak kami bertiga bersembunyi dibalik barisan rak buku terakhir dari sudut. Beberapa pasang mata yang lewat melemparkan tatapan aneh melihat kami—tampak seperti penguntit, mungkin. Tetapi tak di hiraukan.
Kakiku yang kesemutan membuat tubuhku limbung saat seseorang yang lewat menyenggol lenganku. Dina yang kaget karena kakinya ku injak menjatuhkan buku yang ia pegang.
"Meysyaaaa, sakit tau!" ringis perempuan yang sejak tadi sibuk memilih buku tak peduli dengan misi pengintaian yang dilakukan Febri dan aku tentunya yang terbawa suasana.
Beberapa detik kami menjadi pusat perhatian, penjaga perpustakaan yang berada di meja dekat pintu masuk hanya memberi isyarat agar tetap diam. Kami mengangguk dan berpura-pura memilih buku di antara jejeran rak kayu yang tepat berada di hadapan kami.
Saat ini, aku Febri dan Dina berada di perpustakaan, bukan untuk membaca buku, melainkan sedang mengamati Bastian—gebetan Febri.
Wisnu Aji Bastian—pria berwajah oriental, alis yang tegas, hidung mancung, bermata sipit dan bibir yang tipis dengan senyum yang memukau. Salah satu anggota BEM fakultas yang dikagumi oleh mahasiswi baru angkatan tahun ini. Pembawaanya yang ramah dan wajahnya yang tampan membuat banyak kaum hawa jatuh hati, termasuk sahabatku, Febri.
"Bisa dibilang ketampanannya cukup berkelas, tak hanya dari penampilan saja tapi juga dari pembawaannya. Caranya memandang dan tersenyum semuanya menarik," ucapnya tahun lalu.
Saat itu, hampir dua jam aku duduk di bangku taman persegi panjang yang hanya terbuat dari semen di bawah rimbunnya pohon akasia tepat di samping fakultas kimia. Menunggu seseorang yang berkata akan mengunjungiku setelah ospek usai. Tetapi batal karena ia sibuk, katanya.