“Aku tidak mau membuat hati milik Allah ini sakit hanya karena ulah hamba-Nya. Allah itu pencemburu. Dia cemburu ada nama lain di hatiku, di pikiranku, ataupun di lisanku”.
~~🍃~~
SESEORANG melempari kaca kamar dengan kerikil, membuatku semakin menarik selimut untuk menutupi kepala sekaligus telinga. Berulang kali kubatinkan kalimat istigfar, tapi dia tetap pada usahanya. Percaya atau tidak, ini sudah hampir pukul sepuluh malam dan ‘si hantu’ itu belum mau berhenti dari aksinya.
Makhluk Mars
“Aku tahu kamu belum tidur Sya! Dan jangan pura-pura tidur. Lampunya masih nyala, Allah Maha Melihat.”
Kalau sudah bersangkutan dengan Allah, aku tak bisa bersikap apa pun. Siapa lagi yang berani menggangguku seperti ini, kalau bukan Jidan Ramdani, pria yang rumahnya berdiri megah tepat di samping rumahku. Aku tak membalas pesannya dan dia tetap melempari kaca kamarku dengan kerikil. “Sya! Nafisya!” teriaknya.
Arggh! Dasar Penghuni Mars!
Aku berdiri dan mengambil jilbab instan berwarna hijau toska senada dengan baju yang kukenakan. Syukurlah piyama tidurku sudah berlengan panjang, begitu pun celananya. Kubuka jendela itu selebar mungkin, membuat angin malam masuk tanpa izin. Aku mengambil napas panjang sebelum berteriak, “Kenapa gak sekalian lemparin pake batu bata!” Akhirnya semua meluap. Pria di bawah sana hanya menunjukkan jajaran gigi rapi sambil tersenyum konyol ke arahku tanpa rasa bersalah. “Sssssstttttt!” teriaknya.
Dia sendiri yang menciptakan kegaduhan. Sesuatu mengganjal otaknya. Ini wajar jika kami berumur di bawah sepuluh tahun, tapi dia masih melakukan ini ketika kami sudah duduk di bangku universitas.
“Kalo ketahuan Ummi kamu, kita bisa dinikahin di tempat,” katanya waspada.
Kalau dia tahu batasan bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh berduaan, kenapa terus-menerus melempari kaca kamarku dengan kerikil? Aku hanya menatapnya dengan ekspresi kesal karena memang itu harapanku, menikah dengannya.
Tatapanku bukan mata bertemu mata. Aku tidak pernah melakukan eye contact dengan pria mana pun. Aku cukup tahu kalau panah terdahsyat setan adalah melalui pandangan. Aku hanya menatap ke arah lain yang sejajar dengan sosok Jidan.
Mengenai Jidan, terlalu bodoh memang berharap jodoh next door. Berharap suatu saat sang tetangga bertamu untuk melamar, berharap Jidan akan jadi imamku di masa depan. Semua memang murni kesalahanku karena membiarkan rasa ini tumbuh.
“Sya, rencana tadi siang berhasil!” teriak Jidan. Dia terlihat girang sekali. Dia pernah mengatakan bahwa aku akan menjadi orang pertama yang tahu segala keputusan pentingnya.
“Oh, selamat kalo gitu,” kataku dengan nada yang terdengar biasa-biasa saja. Aku hendak menutup jendela sampai teringat sesuatu. “Dalam Islam tidak ada pacaran!” Setelah berteriak, kututup paksa jendela. Kuharap seseorang yang kamarnya berada di sebelahku juga mendengarnya.
Bulir air mata itu kembali terjatuh. Sungguh, aku tidak ingin menangis lagi karena perasaan konyol ini, terlebih hanya untuk seorang pria. Aku ingin melupakan Jidan. Bukan kali ini saja. Sudah sejak empat belas tahun lalu aku berencana melupakan perasaan ini. Sayang, semuanya tetap menjadi rencana sampai kami tumbuh dewasa.
Ingin kutinggalkan semua kenangan masa lalu meskipun itu kenangan indah. Sekeras apa pun berlari, aku tidak pernah bisa meninggalkan masa lalu itu. Ya Allah, kali ini saja tolong buat aku melupakan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada atau sekadar muncul.
Makhluk Mars
Sya? Kenapa sih? Aku gak pacaran kok, ternyata respon kakak kamu itu baik. Makanya tadi aku mau ngasih tahu kalo aku mau ngambil langkah selanjutnya.
Aku membacanya tanpa membalas pesan dari Jidan. Kumatikan lampu kamar detik itu juga. Pada akhirnya, aku sendiri yang tersakiti karena terlalu berharap. Berharap bahwa Jidan satu-satunya pria yang bisa kupercaya untuk menjadi calon imamku. Harapan yang paling rendah adalah berharap kepada selain Allah. Aku terlalu terlambat dan terlalu bodoh untuk menyadari itu.
Lagi-lagi handphone-ku berdering.
Makhluk Mars
Kamu udah beneran tidur ya? Ya udah sampe ketemu besok di acara organisasi. Selamat tidur frozen kecil, assalamu’alaikum.
Aku hanya membaca potongan-potongan pesan yang dimunculkan panel notification. Sungguh, apa yang akan dilakukan Jidan kelak, keputusan yang hendak dia ambil, aku sama sekali tidak peduli dan tak ingin tahu. Bukan berarti aku bermaksud memutus tali silaturahim atau mengakhiri persahabatan yang sudah lama terjalin dengannya. Andai bibirku bisa bicara tanpa ragu, hanya satu hal yang akan kuminta dari Jidan:
Menjauhlah.
Pergilah sejauh mungkin dari hidupku. Jangan pernah mencoba untuk kembali karena kamu tidak tahu bahwa aku paling tersakiti. Ambil apa yang telah kamu putuskan. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Allah tidak suka aku menyimpan perasaan ini maka aku harus melawan perasaanku sendiri. Melawan khayalanku yang telah melewati batas tentangmu.
Harusnya kamu tahu Jidan bahwa aku telah gagal. Aku takut kecintaanku pada Allah pudar hanya karena kehadiranmu.
Aku tidak mau membuat hati milik Allah ini sakit hanya karena ulah hamba-Nya. Allah itu pencemburu. Dia cemburu ada nama lain di hatiku, di pikiranku, ataupun di lisanku.
~~🍃~~
Alarm yang kupasang masih menyediakan waktu tiga puluh menit lagi menuju pukul tiga. Aku terduduk sebentar sambil mengucek-ngucek kedua mata. Kepalaku pening, terasa sangat berat. Keterlaluan pria itu kemarin. Gara-gara dia kantung mataku terlihat jelas hari ini.
Dinginnya udara tak mengurungkan niatku untuk mengambil wudu dan melakukan sembahyang tahajud seperti hari-hari biasanya. Teringat bagaimana aku tertidur kemarin, alasan apa yang membuat air mataku meluap kembali sampai aku tertidur, membuatku merasa bodoh. Menangisi laki-laki yang bahkan tidak tahu bahwa aku menyukainya.
Mulai malam ini, aku membuat keputusan untuk mengubah doa di mana nama Jidan selalu kusebut di dalamnya. Aku meminta agar ada seorang pria baik di antara yang paling baik yang mampu menjadi imamku kelak, membuat imanku sempurna, dan menuntunku sampai jannah-Nya.
Akan kucari meski sampai pelosok bumi pria sehidup sesurga yang akan menjadi calon imamku dan kupastikan aku bisa melupakan Jidan. Selepas salat Tahajud, Jidan terus-menerus mengirimkan pesan. Kalau dihitung bisa sampai dua puluh pesan. Ketika aku membuka Line, handphone kembali bergetar.
Makhluk Mars
Assalamu’alaikum, Sya, udah bangun? Ciee, rajin bener ketua acara sosialisasi.
Ingin kulempar handphone itu ke lantai dan membiarkan isinya berceceran. Sayangnya akalku masih sehat, handphone itu satu-satunya yang kumiliki, jadi aku hanya menghapus aplikasi Line.
Tumbuh sejak kecil dengan pria itu membuatku tahu banyak hal tentangnya. Aku mengintip sedikit ke jendela. Lampu di kamar seberang sana sudah menyala tanda Jidan sudah bangun. Kami memiliki kesamaan, yaitu tidak bisa tidur dalam kondisi lampu menyala.
Aku cepat-cepat mematikan lampu kamar lalu menyalakan lampu belajar. Aku harus mulai melupakan Jidan secara bertahap, memulai gerakan move on besar-besaran. Aku tak mau terus-menerus seperti ini, bergantung pada Jidan seperti pada Abi dulu. Semua selalu sama. Pada akhirnya, kedua pria itu sama-sama menyakitiku.
Selepas salat Subuh sekitar pukul enam, aku turun ke lantai bawah. Ummi sudah berkutik entah sejak kapan.
“Butuh bantuan, My Queen?” tanyaku sambil memeluk pinggangnya dari belakang. Dulu Ummi adalah hidupku dan Abi adalah napasku. Sekarang, Ummi adalah hidup sekaligus napasku, sedangkan Abi hanya benalu yang sempat hadir. Bukannya aku ingin menjadi anak durhaka, tapi sungguh terlalu menyakitkan ketika Abi lebih memilih pergi pada hari pertama aku masuk sekolah. Saat anak-anak lain diantar ayah mereka ke sekolah, Abi membuangku begitu saja.
Dia memiliki keluarga lain? Ya. Dia meninggalkan aku dan Ummi, seolah kami hilang, pada hari ketika aku mulai mengenal dunia luar yang sesungguhnya.
“Duduk dan makan aja, princess Ummi. Nanti terlambat lagi,” balas Ummi dengan lembut.
Aku melihat banyak makanan di atas meja. Ada roti isi berbagai selai lengkap dengan tiga gelas susu—punyaku yang berwarna cokelat. Satu hal yang membuatku lapar, yaitu ikan balado. Ummi itu hebat makanya kujuluki “Queen”. Dia salah satu bidadari surga yang ditakdirkan hidup bersamaku di bumi.
Terdengar seseorang menyalakan bel rumah sambil berteriak mengucap salam beberapa kali.
“Biar Ummi yang bukain.” Ummi siap beranjak dari duduknya.
“Gak usah, Mi, paling mau ganggu sarapan kita,” cegahku. Aku bisa menebak siapa yang datang sepagi ini. Kak Salsya turun dari lantai atas. Dia tampak anggun dalam balutan dress biru langit yang panjangnya hingga di bawah lutut. Sangat disayangkan dia tidak memakai jilbab. Mungkin Kak Salsya juga trauma terhadap perpisahan Abi dan Ummi. Dia pernah bilang, “Jika menutup aurat itu melindungi Abi dari api neraka, untuk apa melakukannya? Abi saja tidak melindungi kita, kan?”
Kak Salsya benar. Lalu, kenapa aku menutup aurat padahal setiap keputusan itu membutuhkan alasan? Aku menutup aurat karena Allah yang memerintahkannya. Ini sebuah kewajiban dan kurasa alasan itu cukup.
“Biar Salsya aja yang buka pintunya, Mi.”
Seketika aku terkena mood breaker. Nafsu makanku ambruk ke bagian dasar. Membuka pintu katanya? Sekalian bertemu juga begitu? Awas akhirnya malah zina mata. Mereka akan bertatap wajah dan saling bercengkerama menanyakan kabar, padahal sudah bertemu kemarin.
Astaghfirullah, Sya! Kamu kenapa lagi? Kamu mulai berprasangka buruk lagi. Ayolah, jangan bilang kalau kamu sedang cemburu. Kak Salsya hanya akan membukakan pintu untuk Jidan, tidak lebih. Berhenti Nafisya, berhentilah.
Seseorang masuk mengikuti langkah Kak Salsya.
“Jidan? Ayo duduk, Nak. Kita sarapan bareng,” ajak Ummi yang memang luar biasa baik. Entah terbuat dari apa hati Ummi, berlian dan mutiara pun tak bisa menandingi. Ummi juga berkata bahwa Jidan itu sudah seperti anaknya sendiri mungkin karena Ummi tidak punya anak laki-laki. “MasyaAllah, kalo gini Jidan jadi laper lagi, Mi, padahal baru sarapan di rumah,” kata Jidan basa-basi sambil menatap makanan di meja.
Aku tak memandangnya. Kuraih tas kecil berisi ponsel sambil berdiri.
“Ummi, Fisya berangkat sekarang ya.”
Ummi menatapku heran, begitu pun Kak Salsya dan Jidan. Pasalnya roti di piringku belum habis dan tidak biasanya susu cokelat tak kuminum. Aku memang paling tidak bisa menolak susu cokelat. Aku tidak boleh kufur nikmat, bukan? Aku pun pergi ke dapur mengambil botol minum dan kotak makan untuk tempat makanan dan susu sebagai bekal.
“Karena ada Jidan, ya?” tanya Kak Salsya menebak isi pikiranku.