Assalamualaikum, Calon Imam

Coconut Books
Chapter #3

Trauma Kedua [2]

Ini sudah pukul sepuluh. Aku memberhentikan sebuah taksi dan baru bisa sampai panti asuhan Insan Kamil Mandiri tepat pukul sebelas siang.

“Kuliah boleh kesiangan, Sya, tapi masa acara kayak gini kesiangan juga? Apalagi sampe sejam,” sambut Aris ketika aku berjalan ke arahnya.

“Hehe. Assalamu’alaikum!” Teriakanku membuat teman- teman di dalam menyadari kehadiranku. “Gak sejam juga, cuma ” Aku melihat jam lagi. Ternyata aku terlambat satu jam lebih lima belas menit. “Cuma semenit..., tapi lebih sejam.” Aku terkekeh tanpa rasa bersalah.

Aris siap melemparkan jitakan ke keningku. Aku tahu dia hanya bercanda. Syukurlah aku jago menghindar.

Laki-laki yang paling tidak ingin aku temui keluar dari sana. “Nafisya udah dateng?” tanyanya panik.

“Apalah arti Jidan tanpa Nafisya,” ejek Dinda. Dia tengah menyusun dus-dus yang baru dipindahkan Aris dari mobil.

Rara ikut memojokkan kami. “Bagai kuku dengan rambut.”

“Salah, Ra. Peribahasa yang bener bagai kuku dengan daging, tidak terpisahkan,” demo Aris.

“Anak Sastra bebas,” timpal Rara.

Kami tertawa bersama melihat tingkah mereka yang sama-sama tak mau kalah.

“Sya, baju kamu kenapa?” tanya Jidan.

Aku menatap bajuku yang penuh noda darah, terutama bagian rok. Bau amisnya masih tercium. “Oh, ini ” Kalau kujawab darah anak yang kulit perutnya sobek, apa mereka tidak akan lari? “Tadi ada kecelakaan di pusat kota. Ya begitulah, ceritanya paaanjaaang   ” Perlu berjam-jam untuk menceritakannya secara rinci. Lagi pula, kejadian tadi terlalu mengerikan untuk diceritakan.

“Pantes aja jalannya macet banget, banyak garis polisi lagi, tadi kita-kita juga lawan arah. Muter jadinya lewat jalan tol.” Jidan berkacak pinggang. “Kamu sih main pergi aja! Tadi mau diajakin bareng berangkat sama Jiad, Rara, sama Aris juga, malah kabur gitu aja,” omelnya.

“Allah cakap terbaik macem ni,” kataku dengan logat Melayu yang berhasil membuat mereka tertawa lagi.

Acara diundur jadi pukul satu siang. Pertama, waktu terbatas karena sebentar lagi waktunya salat Jumat. Kedua, aku malah datang sangat terlambat, padahal ini kali pertama Aris menunjukku menjadi ketua acara.

Sambil menunggu para pria kembali dari masjid, aku berbincang dengan pemilik panti. Topik perbincangan kami berakhir pada bayi berumur enam bulan bernama Arsya. Pipinya yang gemuk mengimpit kedua mata sampai tampak segaris, membuat dia terlihat tampan. Lagi-lagi, rasa syukur menyeruak di hatiku ketika mendengar kisah Arsya yang ternyata dibuang orang tuanya sendiri. Aku jadi teringat kejadian empat belas tahun silam, kisah ketika aku juga merasa dibuang.

~~🍃~~

Bukan dalam ukuran dewasa usia kami. Saat itu Kak Salsya baru berumur delapan tahun dan aku lima tahun. Kamar kami masih sama dengan kasur dua tingkat. Aku tidur di bawah dengan alasan takut terjatuh dan Kak Salsya mengalah tidur di atas. Hari itu menjadi hari pertama aku masuk sekolah. Senang rasanya mengenal dunia lebih luas, mempunyai teman-teman baru dan suasana baru.

Saat jam pulang tiba, Kak Salsya malah menghilang. Dia bilang aku terlalu lama mengenakan sepatu, jadi dia meninggalkanku. Itu ancaman yang cukup mengerikan karena dulu aku tidak bisa mengikat tali sepatu dengan benar. Salahku sendiri ingin sepatu yang persis sama dengan milik Kak Salsya, padahal aku tidak bisa menggunakan sepatu bertali.

Tangisku pecah sampai seorang anak laki-laki, yang kuingat jelas membawa tas bergambar Spiderman, menghampiri. Anak itu tidak seusia denganku karena dia berseragam SD. Untuk ukuran anak seusianya, dia cukup bertanggung jawab karena mengantarkanku sampai rumah. Dia bahkan membantuku memakai sepatu. Ya benar, dialah Jidan Ramdani, anak laki-laki yang ternyata tetanggaku.

Saat aku masuk dan mengucapkan salam, tak ada yang menjawab. Ummi dan Abi tengah sibuk berdebat di kamar. Entah sejak kapan mereka saling membentak satu sama lain. Suara mereka terdengar olehku. Aku hanya membuka sepatu dan bergegas masuk ke kamar. Aku berniat berganti baju karena anak laki-laki itu mengajakku melihat rumah pohon di halaman belakang rumahnya.

Aku tak bisa mengerti apa isi perdebatan kedua orang tuaku saat itu. Kak Salsya tengah menangis di kamar sambil memeluk boneka Teddy kesayangannya. Dia bahkan masih memakai seragam sekolah. “Kak Salsya kenapa?” tanyaku polos.

“Kakak ikut pergi sama Abi. Kita gak akan ketemu lagi, Sya,” katanya sambil terus menangis.

Aku sempat berpikir bahwa “pergi” yang dimaksud Kak Salsya itu sejenis pergi berlibur. Semenit kemudian, pintu kamar kami terbuka. Abi muncul dari sana dan terburu-buru membereskan barang-barang Kak Salsya.

Kemudian, aku mendengar Ummi menangis di bawah. Aku jadi ikutan menangis saat itu. Awalnya aku menangis karena tidak mengerti apa yang terjadi. Abi memelukku sebentar dengan erat, pelukan terakhir.

“Abi sayang Fisya,” bisiknya.

Setelah itu, selama tiga tahun lamanya Kak Salsya dan Abi tidak pernah muncul atau sekadar datang ke rumah. Hampir setiap malam aku menangis karena takut harus tidur sendirian. Ketika aku berniat pindah menuju kamar Ummi, aku bisa mendengar isak tangis dalam kegelapan malam. Hal itu membuatku mengurungkan niat. Tangis itu adalah tangis yang menyayat hatiku secara perlahan dan menimbulkan kebencian terhadap Abi.

Dia telah membuat Ummi menangis, membuangku, dan membawa Kak Salsya pergi. Aku jadi tidak suka pergi ke sekolah. Melihat anak-anak lain yang terkadang dijemput ayah mereka menimbulkan kebencian yang semakin mendalam. Kegiatanku hanya mengurung diri di kamar.

Pada tahun berikutnya, semua mulai membaik, terlebih ketika Ummi bilang bahwa seorang teman mengajakku bermain. Aku berpikir bahwa Ummi pasti berbohong karena aku sama sekali tidak punya teman. Aku baru masuk satu hari di taman kanak-kanak itu. Ternyata dia Jidan, anak laki-laki yang mengantarku pulang waktu itu. Karena kehadiran Jidan, aku jadi bisa melupakan sedikit rasa sakit. Dan ternyata, malah menimbulkan rasa lain.

Kak Salsya pulang tiga tahun berikutnya. Kepulangan Kak Salsya membuatku paham bahwa Abi dan Ummi memutuskan bercerai. Walau Kak Salsya sudah kembali, ditinggal oleh Abi itu menjadi sebuah trauma, trauma yang tak berujung sampai sekarang.

~~🍃~~

“Sya, sholat dulu gih. Biar Arsya aku yang gendong.” Orang yang baru datang itu membuyarkan lamunanku. Dia bahkan sudah tahu nama bayi yang sedang berada di pangkuanku. Bayangan tentang masa lalu yang muncul di benakku turut menghilang.

“Oh, iya,” kataku sambil menyerahkan anak bayi itu kepada Jidan.

Lihat selengkapnya