Gak mau!
Nada suaraku meninggi. Saat aku menolak perjodohan yang sudah direncanakan oleh keluarga besarku. Gimana nggak nolak? Bahkan, aku tidak tahu pria seperti apa yang hendak dijodohkan denganku. Wajar saja, kan, jika aku menolaknya mentah-mentah? Pernikahan itu bukan ajang adu bakat atau jualan produk yang laris manis di pasaran. Please, deh! Tidak seperti itu konsepnya menurut keyakinan dan prinsip hidupku.
Dengan tegas aku memutuskan untuk tidak mengikuti saran para tetua di keluargaku yang ingin aku cepat-cepat menikah melalui proses taaruf. Katanya, ada seorang ustaz dan ustazah yang akan membimbingku saat berkenalan dengan seorang pria di lingkungan majelis ta’lim binaan mereka.
“Hapunten pisan, Mang, Bi, juga Mak Nenek yang terhormat. Aku nggak bisa,” ucapku dengan penuh penyesalan. Gaya bicaraku dengan logat Sunda campur sari Bahasa Indonesia sudah cukup membuktikan kalau aku ini asli mojang Bandung, kan? Bukan Mbak Jawa yang sering ditebak orang-orang sekilas saat menilai dari bentuk wajahku.
Kutatap satu per satu wajah mereka yang masih diliputi rasa penasaran dan menantikan jawabanku. Kuperhatikan lagi dengan saksama, dahi mereka mulai mengerut. Ada beberapa dari mereka yang menggebu-gebu dan tak sabaran ingin segera tahu alasanku yang sebenarnya. Ya, alasanku menolak dijodohkan melalui jalur taaruf. Baiklah, aku akan menjelaskan lebih detail lagi, kenapa aku menolak usulan mereka.
“Begini … bukan maksudku ingin membangkang atau nggak mau menuruti nasihat kalian. Tapi, beneran! Aku bukan tipe orang yang menganut paham taarufan.” Aku menghela napas panjang usai mengatakannya. Aku takut salah bicara di depan nenek dan saudara-saudaraku yang lain.
Aku duduk di tengah-tengah mereka⸺di saat sanak keluarga lain begitu kompak menginterogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang dirancang khusus, kemudian dilontarkan dengan unsur kesengajaan yang ditujukan hanya kepadaku. Jika kesabaranku setipis tisu atau rambut yang dibelah tujuh, mungkin aku sudah termehek-mehek dan depresi berat menanggapi rasa keingintahuan mereka.
Bagaimana tidak? Pertanyaan mereka itu terasa horor bagiku. Kesannya jauh lebih menyeramkan dibandingkan nonton film genre horor atau thriller. Tapi, ada yang lebih horor lagi selain pertanyaan, kapan nikah? Itu terjadi saat aku lagi nggak punya duit, gagal dapatin kontrak kerja, dan ada seorang teman nggak ada akhlak yang tiba-tiba ngontak mau pinjam duit, yang dibalikinnya entah kapan. Horor banget, kan?
“Kenapa nggak mau taarufan? Itu satu-satunya jalur cepat biar kamu bisa menikah dengan orang yang tepat, syar’i pula, kan?” Bibiku⸺adik dari Umi coba memprovokasiku lagi.
Aku tahu, bibiku sangat lihai dalam membujuk orang lain. Pengaruhnya cukup kuat di keluarga besarku karena dia juga seorang kepala sekolah di sebuah sekolah dasar negeri di Cianjur. Otomatis public speaking-nya bagus dan rayuan mautnya okelah. Aku juga hampir terbujuk rayuannya.
“Tepat apanya, Bi?” Aku mulai tersinggung dengan kalimat terakhirnya. Tuh, kan, aku kelihatan sangar pas lagi sensi. Tidak ada sifat anggunly dalam diriku. Mungkin itu salah satu penyebab pria-pria kurang menyukaiku dari segi penampilan, secara fisik.
“Masa iya kamu mau terus-terusan pacaran sama orang nggak jelas. Bisa numpuk itu dosa kalau kamu masih pacaran tanpa ada kejelasan untuk membina rumah tangga ke depannya. Rugi waktu, kan?” celetuk tanteku yang dari Cibinong, Bogor. Dia juga ikut mengomeliku.
“Ya, nggak gitu juga, Tante. Maksudku, aku nggak mau taarufan karena menurutku mengenali seseorang yang bakalan jadi pendamping hidupku itu prosesnya panjang sekali. Setahun, dua tahun mengenal kepribadian orang itu belum cukup buatku. Aku nggak mau beli kucing dalam karung,” jelasku panjang lebar. Kuharap mereka bisa mencerna dengan baik setiap kalimat yang kulontarkan barusan.