“Bukan begitu, Mi. Untuk saat ini aku memang belum kepikiran ke arah sana. Aku ingin melanjutkan kuliah S2, boleh nggak Mi?” pintaku tiba-tiba. Entah kenapa terlintas saja dalam benakku, barusan. Mungkin inilah yang dinamakan ‘The power of kepepet’.
Kuharap itu akan menjadi alasan pamungkas biar aku tidak kelihatan sedang mengada-ada di depan umi. Biar beliau nggak curiga juga.
“Boleh nggak, Mi?” tanyaku sekali lagi sekadar memastikan. Semoga saja, umi setuju dengan usulanku.
Umi diam saja menanggapi permintaanku. Raut wajahnya terlihat sedang mencemaskanku. “Kamu yakin mau kuliah lagi? Kenapa nggak nikah aja, sih? Usiamu juga sudah 30-an. Kalau kamu ngejar karir dan pendidikan terus, kapan nikahnya?
Aku tersenyum agak dipaksakan. Sudah dipastikan, umi bakalan tidak setuju dengan usulanku itu. Jika umi saja tidak setuju, lantas bagaimana dengan pendapat abi?
“Jangan-jangan, kamu memang sedang mengulur waktu karena tidak ingin dijodohkan. Atau ada pria yang sedang kamu tunggu?” terka umi. Aku terlonjak kaget mendengar dugaan umi.
“Belum ada, Mi. Beneran, kok,” bantahku. “Aku cuma ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Memantaskan diri dulu sebelum dipertemukan dengan pria tepat yang sesuai dengan pilihanku. Itu aja.”
Aku tahu berbohong itu dosa. Tapi, jika kukatakan yang sebenarnya kalau aku sedang ikhtiar menjalin hubungan dengan seorang pria asing tanpa status, sama saja itu juga seperti sedang menabung dosa, kan? Serba salah jadinya. Kenapa sih drama asmaraku harus rumit kayak gini? Nggak bisa gitu langsung sat-set saja? Terkadang terus mengeluh juga tidak memberikan solusi apa-apa. Percuma.
“Oke, kalau begitu. Sebaiknya, kamu bicarakan dulu sama abi soal rencanamu yang ingin melanjutkan kuliah lagi. Biar abi saja yang memutuskan,” saran umi.
“Iya, Umi. Terima kasih atas perhatian dan sarannya. Setelah pulang ke Bandung nanti, aku akan membicarakan hal ini dengan abi,” janjiku seraya menenangkan perasaan umi.
“Cinta, umi mau ngasih tahu kamu juga. Kamu jangan ikut-ikutan main aplikasi jodoh, ya. Di sana banyak cowok-cowok nggak bener. Banyak penipuan,” kata umi memberitahu.
“Penipuan gimana maksud Umi?” Dahiku mengerut menanggapi pembicaraan umi.
“Katanya, banyak akun fake dan tidak sesuai dengan realitanya. Selain itu, banyak cowok yang meminta uang dengan alasan ini-itu, modal ketikan doang. Sudah ada banyak korban yang mengalaminya,” jelas umi.
“Umi tahu dari mana soal aplikasi jodoh itu?” Aku memicingkan mata. Tidak biasanya umi tahu banyak soal begituan. Up to date banget umiku ini. Pasti beliau dengar dari ibu-ibu pengajian yang suka nimbrung ngomongin anak-anak mereka.
“Ya, ada aja yang ngomong begitu ke Umi.”
“Teman-teman Umi di pengajian ada yang pernah ngalamin hal itu, Mi? Anaknya mungkin yang jadi korban penipuan akun fake.” Mendadak aku jadi serius meresponnya. Menarik sekali jika dibahas soal penipuan berkedok aplikasi jodoh.