“Kok kamu ada di sini?” tanya pria itu.
Aku mengernyitkan dahi. Pertanyaan bodoh macam apa ini? Seketika aku ingin sekali menghardiknya.
“Suka-suka akulah. Emang kenapa kalau aku ada di sini?” jawabku agak ketus. Aku kepancing emosi sampai ngegas di hadapannya.
“Kebetulan sekali kalau gitu, ya.” Dia cengar-cengir. Namun, raut wajahku sama sekali tidak merasa simpatik dengan leluconnya. Bahkan, ekspresiku menunjukkan dengan tegas kalau aku sedang tidak ingin bercanda.
Dari pada berdebat kusir nggak ada ujungnya, lebih baik aku mengalah dan pergi dari hadapannya. Di usiaku yang tak lagi remaja, malas banget aku meladeni dia yang sifatnya masih kekanak-kanakan dan sedikit oleng, alias labil.
“Cinta!” panggilnya. Aku berusaha tidak menoleh lagi ke arahnya.
Terkadang sikap bodo amat lebih berfaedah saat ini. Dari pada harus mendengarkan celotehannya yang garing dan sering menyakiti perasaanku. Kuberitahu kalian semua, ya. Pria itu adalah calon suamiku yang pernah kukenalkan pada keluargaku. Tapi, itu dulu. Sekarang, statusnya sudah menjadi mantan.
Semesta menggagalkan rencana besar dalam hidupku dan negara tidak merestui hubungan kami. Ada sesuatu dan lain hal yang membuat kami tidak bisa bersatu. Tidak perlu kusebutkan namanya karena aku tidak ingin membahasnya. Bagiku, dia sudah menjadi bagian dari masa lalu. Jadi, pantang sekali bagiku mengungkit-ungkit lagi sejarah kelam yang menyesakkan dada.
Dalam sejarah hidupku, dia hanya tokoh figuran yang numpang lewat, bukan tokoh utama yang menetap dalam hatiku. Paham, ya. Cukup sampai di sini saja. Aku mau skip cerita tentang dia soalnya. Nggak penting-penting amat juga, kan, keberadaannya.
“Cin, kamu dipanggil tuh!” Karin memberitahuku.
“Nggak usah ditanggapin. Anggap aja angin ribut,” balasku dengan ekspresi acuh.
“Kok angin ribut sih, Cin? Dia, kan, mantanmu yang Paspampres itu,” Karin mengingatkan. Padahal, aku sudah tidak mau membahasnya lagi.
“Eh, dia lagi jalan sama cewek barunya, ya?” Karin sengaja mengompori.
“Udah, ah! Aku nggak mau lihat. Mau dia jalan sama ceweknya, kek. Atau siapa pun itu, aku nggak peduli,” tegasku.
“Aku nggak habis pikir sama kamu. Bisa-bisanya kamu mutusin hubungan sama cowok seganteng Dendy. Bodynya keren, mantan Paspampres, TNI AU lagi. Pangkatnya apa sih?” Karin mengorek-ngorek lagi luka lamaku.
“Bisa nggak sih, kamu nggak sebut-sebut nama dia lagi? Selera makanku bisa hilang kalau kamu masih sebut namanya,” tegurku sambil memelototi Karin.
“Iya-iya, maaf,” sesal Karin. Dia tak lagi membicarakan soal Dendy di hadapanku. Apalagi saat kami sedang menyantap makan siang.
Aku sudah menutup rapi ceritanya agar tidak menyebarluas di depan kalian, para pembacaku. Tapi, Karin malah membongkar aibku dengan si mantan sialan itu. Benar-benar tidak sinkron chemistry persahabatan kami. Matanya sering silau kalau sudah lihat cowok yang gantengan dikit.
“Cin, dia datang tuh!” Karin memberi kode isyarat dengan lirikan matanya. Aku pura-pura tidak ingin tahu.
“Cin! Cinta!” Karin jadi tidak enak padaku. Karena si mantan sudah berada di belakangku.
“Biarin aja! Nanti juga dia pergi,” sahutku datar. Mau apa sih dia dekatin aku lagi?
Dendy berdeham. Terpaksa aku menghentikan acara makan siangku dan mengalihkan pandangan ke arahnya.